Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukum-Hukum Terkait Dengan Shalat Tarawih

Hukum-Hukum Terkait Dengan Shalat Tarawih

Definisi Shalat Tarawih

Shalat secara bahasa bermakna doa, sebagaimana firman Allah ta’ala:

Artinya: “…dan berdoalah untuk mereka.”

Juga sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

Artinya: “Jika salah seorang di antara kalian diundang, maka penuhilah. Jika ia dalam sedang berpuasa, maka berdoalah untuk pengundang, dan jika ia tidak berpuasa, maka makanlah.”

Sedangkan secara istilah, menurut jumhur fuqaha, shalat berarti ‘sejumlah perkataan dan perbuatan, yang dibuka dengan takbir, dan ditutup dengan salam, dengan disertai niat, dan dengan syarat-syarat khusus’. Sedangkan menurut Hanafiyah, shalat berarti ‘nama bagi perbuatan-perbuatan yang diketahui, yang terdiri dari berdiri, ruku’, dan sujud’.

Tarawih merupakan bentuk jamak dari tarwihah, yang berarti istirahat. Kata tarwihah asalnya digunakan untuk menyebut aktivitas duduk-duduk secara mutlak. Dan aktivitas duduk-duduk untuk istirahat setiap empat rakaat shalat malam di bulan Ramadhan dinamakan tarwihah. 

Sehingga shalat malam di bulan Ramadhan dinamakan dengan shalat tarawih, karena shalat tersebut dilaksanakan dalam waktu yang panjang, dan diselingi dengan duduk-duduk untuk istirahat setiap selesai empat rakaat.

Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani rahimahullah, di kitab Fathul Bari menyatakan, ‘Shalat jamaah yang dilaksanakan di malam bulan Ramadhan dinamakan tarawih karena orang-orang (para shahabat) pertama kali melaksanakannya, beristirahat pada setiap dua kali salam’

Secara istilah, fuqaha mendefinisikan shalat tarawih dengan ‘qiyam (shalat) Ramadhan di awal malam’, atau ‘qiyam (shalat) di bulan Ramadhan, dua rakaat-dua rakaat, yang fuqaha berbeda pendapat tentang jumlah rakaatnya dan beberapa masalah lainnya’.

Istilah shalat tarawih sendiri belum dikenal di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal ini bisa diketahui dari tidak adanya riwayat yang menyebut istilah tersebut di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat itu, istilah yang dikenal adalah qiyam Ramadhan.

Hukum Shalat Tarawih

Ulama sepakat disunnahkannya shalat tarawih di bulan Ramadhan. Dan menurut Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, ia merupakan sunnah muakkadah. Kesunnahannya berlaku untuk laki-laki dan perempuan. Kesepakatan ulama atas sunnahnya shalat tarawih juga disebutkan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah di kitab beliau, al-Majmu’.

Hal ini berdasarkan hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya: “Barangsiapa yang melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”

Juga berdasarkan riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa di suatu malam di bulan Ramadhan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di masjid, dan beberapa orang kemudian mengikuti beliau, orang-orang yang mengikuti beliau bertambah banyak pada malam-malam berikutnya, sampai pada malam ketiga atau keempat, Rasulullah tidak keluar untuk melaksanakan shalat bersama orang-orang, kemudian pada shubuhnya, beliau bersabda yang artinya: “Sungguh aku mengetahui apa yang telah kalian lakukan, dan tidak ada yang mencegahku keluar (untuk shalat) bersama kalian, kecuali aku takut ia difardhukan bagi kalian.”.

Juga berdasarkan atsar dari ‘Umar ibn al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang mentradisikan shalat tarawih secara berjamaah dipimpin oleh satu imam. Dan di saat itu masih banyak para shahabat, dari kalangan Muhajirin dan Anshar, dan tidak ada seorangpun yang mengingkari perbuatan ‘Umar tersebut, bahkan mereka mendukung beliau.

Sejarah Shalat Tarawih

Ada dua periode sejarah shalat tarawih, pertama adalah di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan yang kedua di masa khalifah ‘Umar ibn al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu.

Berdasarkan riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam shahih al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam di bulan Ramadhan keluar menuju masjid untuk melaksanakan shalat malam, hal itu kemudian diikuti oleh beberapa shahabat. Pada malam berikutnya, jumlah jamaah shalat tersebut semakin banyak. 

Hingga pada malam ketiga atau keempat, para shahabat yang jumlahnya begitu banyak, menunggu beliau di masjid untuk melaksanakan shalat malam, namun beliau tidak kunjung datang. Kemudian pada shubuhnya, Nabi bersabda sebagaimana riwayat yang sudah disebutkan sebelumnya.

Di periode berikutnya, yaitu di masa ‘Umar ibn al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, mulai ditradisikanlah shalat tarawih berjamaah yang dipimpin oleh satu imam, dan tradisi tersebut berlaku sampai sekarang. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Abdurrahman ibn ‘Abd al-Qari, bahwa pada suatu malam di bulan Ramadhan, ia keluar menuju masjid bersama ‘Umar ibn al-Khaththab, dan di masjid tersebut orang-orang terpencar-pencar, ada yang shalat sendirian, ada juga yang menjadi imam untuk sekelompok kecil orang. 

Melihat hal ini, ‘Umar kemudian berkata, ‘Menurutku, seandainya mereka semua ini kukumpulkan pada seorang imam (yang akan mengimami mereka semua), tentu lebih baik’. Kemudian beliau merealisasikan hal itu, dan menjadikan Ubay ibn Ka’ab radhiyallahu ‘anhu sebagai imam bagi mereka. 

Kemudian, ‘Abdurrahman ibn ‘Abd al-Qari bersama ‘Umar ibn al-Khaththab keluar lagi di malam berikutnya, dan saat itu orang-orang shalat diimami oleh imam mereka. Melihat hal tersebut, ‘Umar berkata, ‘Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Dan orang-orang yang tidur lebih baik dari orang-orang yang shalat.’

Adakah Panggilan Khusus Untuk Shalat Tarawih?

Jumhur fuqaha menyatakan tidak ada adzan dan iqamah untuk shalat tarawih, karena tiadanya riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu.

Sedangkan kalangan Syafi’iyah menyatakan, bahwa tidak ada azan dan iqamah untuk shalat tarawih, namun dianjurkan untuk mengucapkan kalimat ash-shalaatu jaami’ah sebelum shalat, hal ini sebagaimana pernyataan Imam asy-Syafi’i rahimahullah yang dinukil oleh Imam an-Nawawi rahimahullah, ‘Tidak ada adzan dan iqamah kecuali pada shalat yang diwajibkan, adapun shalat ‘ied, shalat kusuf, dan qiyam Ramadhan, aku menyukai diucapkan pada shalat-shalat tersebut ash-Shalaatu jaami’ah’

Kalangan Syafi’iyah berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim rahimahumallah yang menyebutkan ketika akan dilaksanakan shalat kusuf, diucapkanlah ash-Shalaatu jaami’ah, dan mereka mengqiyaskan hal ini ke seluruh shalat sunnah yang disunnahkan berjamaah, termasuk shalat tarawih.

Berbeda dengan Syafi’iyah, kalangan Hanabilah menyatakan tidak ada panggilan untuk shalat tarawih, dan panggilan ash-shalaatu jaami’ah adalah muhdats.

Jumlah Rakaat Shalat Tarawih

Ada yang berpendapat, jumlah rakaat shalat tarawih ditambah witir adalah sebelas rakaat, sebagaimana yang banyak dipraktikkan di negeri ini. Mereka berdalil dengan hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata yang artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah (shalat malamnya), baik di bulan Ramadhan atau di bulan lainnya, lebih dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, dan jangan engkau tanyakan tentang indah dan panjangnya shalat beliau. Kemudian beliau shalat empat rakaat lagi, dan jangan engkau tanyakan tentang indah dan panjangnya shalat beliau, kemudian beliau shalat tiga rakaat.”

Sedangkan jumhur fuqaha, dari kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, dan sebagian Malikiyah menyatakan jumlah rakaat shalat tarawih adalah dua puluh rakaat. Hal ini sebagaimana riwayat Malik dari Yazid ibn Ruman, dan al-Baihaqi dari as-Saib ibn Yazid, bahwa shalat malam yang dilaksanakan oleh orang-orang di masa ‘Umar berjumlah dua puluh rakaat.

Bahkan al-Kasani rahimahullah, dari kalangan Hanafiyah, menyatakan, ‘Sesungguhnya ‘Umar mengumpulkan para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atas Ubay ibn Ka’ab, dan ia shalat dengan mereka setiap malam dua puluh rakaat. Dan tidak ada seorangpun yang mengingkari hal ini, sehingga hal ini merupakan ijma’ di antara mereka’.

Sedangkan Malik ibn Anas rahimahullah, di salah satu qaulnya, menyatakan bahwa shalat tarawih berjumlah 36 rakaat, dan di qaul beliau yang lain, 26 rakaat. Shalat tarawih 36 rakaat ini, menurut kalangan Malikiyah, merupakan praktik di masa khalifah ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz. Masih menurut Malikiyah, shalat tarawih boleh dilakukan 20 rakaat, ataupun 36 rakaat.

Terakhir, tentang jumlah rakaat tarawih ini, saya kutipkan pernyataan as-Suyuthi rahimahullah, beliau berkata, ‘Yang disebutkan dalam hadits-hadits shahih dan hasan, adalah perintah dan anjuran untuk melaksanakan qiyam Ramadhan tanpa menyebutkan pengkhususan jumlah rakaat tertentu. Dan tidak tsabit bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat tarawih dua puluh rakaat. 

Beliau shalat malam di beberapa malam tanpa disebutkan jumlah rakaatnya, kemudian hal itu berakhir di malam keempat karena khawatir shalat tersebut diwajibkan atas umatnya, dan mereka tidak mampu melakukannya’.

Waktu Pelaksanaan Shalat Tarawih

Mayoritas ahli fiqih menyatakan bahwa waktu shalat tarawih adalah setelah shalat ‘isya hingga terbit fajar, dan dikerjakan sebelum shalat witir. Hal ini berdasarkan perbuatan para shahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in.

Ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat tarawih yang dikerjakan setelah shalat maghrib dan sebelum shalat ‘isya. Jumhur fuqaha dan pendapat yang paling shahih dari kalangan Hanafiyah menyatakan shalat tarawih sebelum shalat ‘isya tidak dianggap sebagai shalat tarawih. 

Sedangkan sebagian kalangan Hanafiyah menyatakan shalat tersebut tetap sah dianggap sebagai shalat tarawih, karena menurut mereka seluruh malam, sebelum terbit fajar, merupakan waktu shalat tarawih, baik sebelum ‘isya maupun sesudahnya.

Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah menyatakan mustahab mengakhirkan waktu tarawih hingga sepertiga atau setengah malam terakhir. Sedangkan Hanabilah mengatakan shalat di awal malam lebih utama, karena itu yang dipraktikkan oleh para shahabat di masa ‘Umar. Kalangan Hanafiyah, menurut pendapat yang paling shahih, menyatakan sah shalat tarawih yang dilaksanakan setelah shalat witir.

Dua Rakaat Satu Kali Salam, Atau Empat Rakaat Satu Kali Salam?

Saat ini, khususnya di negeri ini, banyak tempat yang melaksanakan shalat tarawih empat rakaat satu kali salam. Mereka berdalil dengan hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan dan di luar bulan Ramadhan.

Namun, mayoritas fuqaha, tidak berdalil dengan hadits tersebut untuk menentukan jumlah rakaat shalat tarawih dalam satu kali salam. Mereka lebih cenderung menggunakan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya: “Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat.”

Bahkan, sebagian fuqaha menyatakan bahwa hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengandung dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakannya empat rakaat satu kali salam, dan kemungkinan kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakannya empat rakaat dua kali salam, sebagaimana yang dinyatakan langsung oleh beliau bahwa shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat, dan ini yang dipraktikkan oleh salafus shalih, dari kalangan shahabat dan yang mengikuti mereka.

Pemahaman ini juga sesuai dengan hadits yang lain dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang diriwayatkan Imam Muslim rahimahullah yang artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat setelah selesai shalat ‘isya –pada waktu yang disebut oleh orang-orang sebagai ‘atamah (waktu shalat ‘isya terakhir)–, sebelas rakaat, dan beliau mengucapkan salam tiap dua rakaat, dan melaksanakan shalat witir satu rakaat.”

Walaupun mayoritas fuqaha menyatakan shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat, namun mereka berbeda pendapat tentang kebolehan shalat malam lebih dari dua rakaat satu kali salam. Menurut kalangan Syafi’iyah, jika seseorang shalat tarawih empat rakaat satu kali salam, maka tidak sah shalat tarawihnya. 

Jika ia melakukannya dengan sengaja dan memiliki pengetahuan, maka batallah shalatnya, jika tidak sengaja atau tidak memiliki pengetahuan tentang hal tersebut, maka shalatnya hanya dinilai sebagai shalat sunnah mutlak.

Sedangkan Hanafiyah menyatakan kebolehan shalat tarawih dilaksanakan seluruhnya hanya dengan satu kali salam, jika ia duduk di tiap dua rakaat. Namun, jika ini dilakukan secara sengaja, hukumnya makruh, karena bertentangan dengan tradisi umat Islam yang dilaksanakan secara turun-temurun, sejak masa shahabat. 

Jika shalat tarawih tersebut dilaksanakan seluruhnya dengan satu kali salam, tanpa duduk di tiap dua rakaat, maka menurut Muhammad ibn al-Hasan rahimahullah batal shalatnya, sedangkan menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf rahimahumallah tidak batal shalatnya.

Dan menurut Malikiyah, disunnahkan mengucapkan salam dalam shalat tarawih tiap dua rakaat, dan dimakruhkan mengakhirkan salam setelah empat rakaat.

Bolehkah Melaksanakan Shalat Tarawih Secara Sendiri-Sendiri?

Fuqaha sepakat atas disyariatkannya shalat tarawih secara berjamaah, sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan perbuatan para shahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in sejak masa ‘Umar ibn al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dan ini terus berlangsung hingga sekarang.

Namun fuqaha berbeda pendapat tentang mana yang lebih utama, shalat berjamaah di masjid, atau shalat sendirian di rumah. Ulama Malikiyah menyatakan disunnahkan shalat tarawih di rumah masing-masing, hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya: “Hendaknya kalian melaksanakan shalat di rumah-rumah kalian, karena sesungguhnya sebaik-baiknya shalat seorang laki-laki adalah di rumahnya, kecuali shalat fardhu.”

Namun kesunnahan ini harus memenuhi tiga syarat terlebih dulu, yaitu :

(1) masjid tidak terbengkalai karenanya

(2) ia mengerjakan shalat tersebut di rumah secara sungguh-sungguh

(3) ia tidak berada di wilayah dua tanah haram. Jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, maka shalat di masjid lebih utama.

Sedangkan menurut Hanafiyah, shalat tarawih secara berjamaah hukumnya sunnah kifayah, jika semua orang meninggalkannya, maka mereka semua berdosa. Jika seseorang tidak ikut berjamaah, dan shalat tarawih sendirian di rumahnya, maka ia telah kehilangan keutamaan berjamaah. Dan jika ia shalat berjamaah di rumah, maka ia telah meninggalkan keutamaan berjamaah di masjid.

Ulama Syafi’iyah menyatakan, menurut pendapat yang paling shahih, disunnahkan shalat tarawih secara berjamaah, sebagaimana perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dan atsar di masa ‘Umar ibn al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, juga karena umat Islam mengamalkan hal ini. 

Namun, ada juga pendapat lain di kalangan Syafi’iyah yang menyatakan bahwa shalat tarawih sendirian lebih utama, sebagaimana shalat malam secara umum, dan karena itu lebih jauh dari perbuatan riya.

Dan menurut Hanabilah, shalat tarawih secara berjamaah lebih utama dari shalat sendirian. Imam Ahmad ibn Hanbal rahimahullah berkata, ‘Jabir, ‘Ali dan ‘Abdullah melaksanakan shalat tersebut secara berjamaah’. 

Mereka juga berdalil dengan hadits dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan keluarga dan istri-istri beliau, kemudian beliau bersabda yang artinya: “Sesungguhnya seorang laki-laki yang shalat bersama imam hingga selesai, ia dianggap telah shalat semalam penuh.”

Dan mereka juga menyatakan, jika seseorang tidak memungkinkan untuk ikut shalat tarawih berjamaah, maka ia dianjurkan untuk shalat sendirian, berdasarkan keumuman hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Barangsiapa yang melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu’.

Sumber referensi:

Al-‘Asqalani, Ibn Hajar. 1379 H. Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Ma’rifah.

Al-Bukhari, Muhammad ibn Ismail. 1422 H. Shahih al-Bukhari. t.tp.: Dar Thauq an-Najah.

Al-Jaziri, ‘Abdurrahman. 2003. Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.

Al-Kasani, ‘Alaauddin. 1986. Bada-i’ ash-Shana-i’ fi Tartib asy-Syara-i’. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.

Al-Maqdisi, Ibn Qudamah. 1968. Al-Mughni. Kairo: Maktabah al-Qahirah.

An-Naisaburi, Muslim ibn al-Hajjaj. t.t. Shahih Muslim. Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi.

An-Nasai, Ahmad ibn Syu’aib. 1986. Sunan an-Nasai. Halab: Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyah.

An-Nawawi, Yahya ibn Syaraf. t.t. Al-Majmu’. Damaskus: Dar al-Fikr.

As-Sijistani, Abu Dawud. t.t. Sunan Abi Dawud. Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyah.

At-Tirmidzi, Abu ‘Isa. 1975. Sunan at-Tirmidzi. Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi.

At-Tuwaijiri, Muhammad. 2009. Mausu’ah al-Fiqh al-Islami. t.tp.: Bait al-Afkar ad-Dauliyah.

Ibn Hanbal, Ahmad. 2001. Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal. Muassasah ar-Risalah.

Jama’ah min al-‘Ulama. 1993. Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah Juz 28. Mesir: Dar ash-Shafwah.

Posting Komentar untuk " Hukum-Hukum Terkait Dengan Shalat Tarawih"