Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Melihat Isi Naskah Bahasa Jawa Darmogandul dan Gatoloco

kidung-darmogandul
credit:instagram@halo_buku

Sastra nusantara telah berkembang sekian lama. Sudah sejak jaman dahulu banyak bujangga besar yang dilahirkan. Pengarang nusantara klasik sudah lama menelurkan karya-karya abadi. Ada yang lestari karena kualitasnya, namun ada juga yang dikenang sampai sekarang karena kontroversinya. 

Salah satu naskah bahasa Jawa yang terkenal kontroversial dari awal kemunculan sampai sekarang adalah Darmogandul dan Gatoloco.

Sejarah masyarakat Jawa tidak lepas dari banyak pergeseran budaya dan agama. Mulai dari kepercayaan leluhur berasimilasi dengan Hindu, lalu dilanjut dengan Budha, kemudian beradaptasi dengan budaya Islam dan terakhir Nasrani.

Adaptasi budaya ini tidak selamanya berjalan mulus. Ada kalanya terjadi friksi antara budaya dan kepercayaan yang lama dan yang baru. Bahkan sampai sekarang friksi yang melibatkan budaya dan kepercayaan masih ada.

Naskah Bahasa Jawa Darmogandul

Banyak naskah-naskah klasik yang menggambarkan pergolakan pemikiran, kebudayaan, dan agama ini. Salah satu yang kontroversial di tanah Jawa adalah Serat Darmogandul.

Serat ini memakai bahasa Jawa Kuno. Penulisnya memakai nama samaran, yaitu Ki Kalam Wadi. Arti dari nama itu adalah kabar yang dirahasiakan. Belum ada pihak yang mengaku atau dianggap pasti sebagai Ki Kalam Wadi.

Beberapa pihak menduga bahwa pengarangnya adalah Ronggowarsito, seorang pujangga besar Kerajaan Surakarta. Walau sebenarnya kalau dilihat dari bahasa dan isinya tidak sama dengan karya-karya lain dari Ronggowarsito.

Waktu penulisan Darmogandhul juga tidak bisa dipastikan. Walau banyak menceritakan masa keruntuhan Majapahit, namun banyak yang menduga bahwa penulisan naskah ini adalah pada masa kolonialisme Belanda. Hal ini dilihat dari banyaknya fakta sejarah yang kacau dan banyaknya pemihakan pada kepentingan Belanda.

Darmogandul memakai tutur bahasa ciri khas serat, yaitu bahasa dongeng atau prosa. Darmogandul dibilang kontroversial karena isinya banyak menyerang agama Islam.

Serat ini mengemukakan bahwa penyebaran Islam di Nusantara tidaklah berlangsung dengan damai. Salah satu yang disorot adalah sampai mengungsinya pemeluk agama Hindu ke Bali, daerah lain, atau ke pegunungan dan pedalaman hutan. Hal ini dikarenakan mereka menghindari pembantaian massal yang dilakukan oleh penyebar Islam di Pulau Jawa.

Darmogandul menjelaskan keruntuhan Majapahit dengan versinya sendiri. Menurut naskah bahasa Jawa ini, Majapahit runtuh akibat serangan Raden Patah, seorang Adipati Demak.

Disebutkan bahwa Raden Patah merupakan putra raja terakhir Majapahit, Prabu Brawijaya dengan putri dari Cina. Raden Patah menyerang karena provokasi Sunan Giri dan Sunan Benang (dikenal sebagai Sunan Bonang).

Majapahit harus dihancurkan karena kafir. Menurut naskah Darmogandul, hal ini merupakan perbuatan yang tercela dalam membalas budi baik Prabu Brawijaya. Prabu Brawijaya telah mengizinkan Islam berkembang di bawah kekuasaan Majapahit.

Namun, perbuatan baik ini malah dibalas dengan keburukan. Darmogandhul mengartikan gelar wali sebagai walikan, yang artinya dalam bahasa jawa adalah kebalikan. Jadi, orang Islam selalu membalas kebaikan dengan keburukan.

Isi dalam Darmogandhul pasti membuat panas banyak pemeluk agama Islam. Prof. Rasjidi telah menelaah dan menerjemahkan naskah Darmogandul mengungkapkan betapa kontroversialnya naskah ini.

Disebutkan bahwa bangsa Islam itu jika diperlakukan dengan baik, maka mereka akan membalas dengan perbuatan jahat. Hal ini dikatakan karena sesuai dengan nama Tuhan mereka, yaitu Allah, yang dalam bahasa Jawa disamakan dengan “ala”, yang berarti buruk atau jahat.

Darmogandul memang banyak diprotes masyarakat, terutama dari orang Islam, orang Arab, dan orang Cina. Banyak hinaan dan ejekan berbau porno dalam naskah ini. Misalnya, adalah menghubungkan ayat-ayat dalam kitab agama dengan hubungan badan dan alat kelamin.

Darmogandul banyak menjelaskan agama aliran kebatinan. Di naskah ini ada kritikan tentang Islam formalis, yang hanya melaksanakan ibadah berdasarkan gerakan jasmani saja.

Disebutkan bahwa ritual yang dilakukan orang Islam, seperti adzan yang diteriakkan keras-keras, gerakan sembahyang, dan do’a akan nampak seperti orang gila. Hal ini karena semua upacara itu hanya dilakukan sebagai formalitas saja.

Naskah Bahasa Jawa Gatholoco

serat-gatholoco
credit:instagram@warjito_buki

Gatholoco merupakan naskah klasik yang juga tidak kalah kontroversial. Dikisahkan bahwa Gatholoco adalah nama seseorang. Dia adalah orang yang jarang mandi dan buruk rupa.

Pada suatu saat dia bertemu dengan ulama Islam dan dua muridnya. Terjadilah dialog dan adu bantah di antara mereka. Disebutkan dalam naskah ini bahwa Gatholoco dengan paham kebatinannya memenangi argumen dengan para ulama Islam ini.

Adu bantah antara Gatholoco dan para santri tentu mengguncang banyak umat Islam, bahkan mungkin hingga sekarang. Disebutkan bahwa makan anjing atau babi yang diperoleh dengan halal akan lebih baik jika makan sapi atau hewan yang dihalalkan lainnya, namun diperoleh dengan cara yang tidak halal.

Hewan yang diharamkan untuk dimakan akan lebih halal jika dipelihara sendiri atau dibeli dibandingkan dengan hewan halal yang diperoleh dengan mencuri atau menipu.

Disebutkan bahwa santri yang emosi mendengar jawaban itu mencaci Gatholoco dengan sebutan “silit babi”. Melihat santri yang marah itu Gatholoco kembali menyindir. Disebutnya bahwa bukankah Islam mengajarkan untuk mengendalikan amarah?

Kemudian Gatholoco menghina cara sembahyang santri yang hanya jungkir balik menghadap ke Ka’bah. Gatholoco mengaku bahwa dia telah sembahyang sepanjang waktu dan tidak hanya lima waktu.

Dia juga tidak sembahnyan jungkir balik dan menghadap Ka’bah. Hal ini dikarenakan Ka’bah hanya diciptakan oleh manusia, tidak lebih suci dari kiblat yang langsung diciptakan oleh Allah. Kiblat Gatholoco adalah diri Gatholoco sendiri.

Kenyataan semacam ini memang merupakan bentuk kesombongan bagi penganut agama secara umum. Namun, bagi yang mempelajari kebatinan, hal ini bukanlah suatu yang aneh. Orang dengan tingkatan tertentu akan beribadah kepada Allah sepanjang waktu.

Hal ini dikarenakan dia telah menghilangkan eksistensi dirinya dan yang ada di dalam pikirannya hanya ada Allah. Jadi, dia tidak lalai dalam beribadah kepada Allah.

Pemahaman semacam ini banyak dijumpai dalam alam pemikiran sufi. Golongan sufi membagi tingkatan manusia menjadi empat tingkatan atau golongan, yakni syariat, hakekat, tarekat, dan makrifat. Orang kebanyakan hanya masih dalam taraf syariat, sehingga ibadahnya hanya semacam ritual upacara yang tidak dihayati dengan hati.

Dalam naskah Gatholoco disebutkan juga bahwa makhluk yang pertama diciptakan oleh Allah adalah Nur Muhammad. Nur Muhammad ini adalah sumber segala kehidupan, dari situ manusia berasal dan akan kembali. Nur Muhammad ini bukanlah Nabi Muhammad saw. Nabi Muhammad saw adalah wujud manusia sempurna dari Nur Muhammad.

Seperti Darmogandul, Gatholoco juga berisi pemikiran yang menyerang ajaran Islam kontroversial. Apalagi banyak nama dalam Gatholoco yang menghina umat Islam. Misalnya adalah nama ulama yang dikalahkan dalam debat adalah Kasan Besari.

Dalam sejarah, Kasan Besari adalah ulama besar yang memimpin Pesantren Tegalsari, tempat di mana Ronggowarsito menjadi santri. Gatholoco sendiri jika diartikan secara harfiah berarti alat kelamin laki-laki. Seperti Darmogandul, pengarang kitab ini juga tidak bisa dipastikan.

Kedua naskah ini tentu masih menimbulkan kontroversi sampai saat ini. Kedua kitab ini banyak dijadikan rujukan oleh penggiat Islam untuk menunjuk siapa saja yang merongrong Islam.

Isi naskah bahasa Jawa ini mungkin tidak terlalu aneh jika melihat informasi di dunia maya yang begitu vulgar dan tidak ada batasan. Namun, tetap di masanya kedua kitab ini telah mengguncang kestabilan dalam masalah keagamaan khususnya dalam umat Islam.

Posting Komentar untuk " Melihat Isi Naskah Bahasa Jawa Darmogandul dan Gatoloco"