Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Imam Bonjol - Pemimpin dari Bonjol yang Tak Mudah Kalah

Tuanku Imam Bonjol

Semasa Sekolah Dasar (SD), kita pasti seringkali “dijejali” dengan nama-nama pahlawan nasional. Tujuannya adalah, mungkin, agar rasa nasionalisme tumbuh sejak mulai dini. 

Paling tidak, anak-anak diajarkan untuk mengenal siapa tokoh-tokoh yang berada di belakang kemerdekaan yang dimiliki Negara Indonesia ini. Dan, mustahil rasanya, jika ada anak Indonesia yang tidak mengenal sosok yang satu ini, Imam Bonjol.

Imam Bonjol - Dari Gambar, Perjuangan Pahlawan Hingga Perjuangan Generasi Muda

Nama pahlawan kebangaan Indonesia yang satu ini sungguh menjadi salah satu nama tokoh pahlawan yang sudah dikenalkan sejak belia pada anak Indonesia. 

Potret beliau bahkan bisa dilihat terpampang pada dinding-dinding setiap sekolah dasar di negeri ini. Setidaknya, beberapa tahun yang lalu hal itu bukan isapan jempol semata.

Ya, gambar para pahlawan Indonesia, termasuk salah satunya beliau, memang menjadi salah satu barang inventaris sekolah. Selain tentunya gambar presiden dan wakil presiden, peta dunia serta jadwal piket. Jika ada sekolah yang tidak memiliki gambar para pahlawan tersebut, rasanya akan terasa ganjil.

Memasang gambar beliau-beliau yang sudah berjuang mempertahankan tanah air dari tangan penjajah memang bukan sebuah keharusan. Tidak ada undang-undang yang menjerat jika ada sekolah yang tidak memasangnya. 

Tapi, ini bukan urusan peraturan tertulis yang harus dipatuhi. Ini soal rasa memiliki, menghormati dan tidak melupakan upaya yang telah dilakukan oleh para pahlawan tersebut.

Kehadiran gambar-gambar tersebut setidaknya membuat generasi muda tahu bahwa ada sebuah perjuangan yang dilakukan oleh orang-orang sebelum mereka. Bahwa kemerdekaan ini bukan satu hal yang didapatkan dengan mudah dan tanpa perjuangan serta pengorbanan. 

Dan nantinya, diharapkan, generasi muda tersebut memiliki rasa perjuangan yang juga sama dengan para pahlawan Indonesia. Begitu kira-kira.

Tetapi, pada kenyataannya, tak jarang, gambar-gambar tersebut hanya berakhir sebagai penghias dinding sekolah. Gambar Imam Bonjol dan pahlawan yang lain dibiarkan tertutupi debu. Ditengok sesekali dan tak jarang bahkan rusak oleh ulah mereka. 

Miris, tapi lalu bisa apa? Hal yang dipaksakan dan tidak lahir dari keinginan hati justru tidak baik bagi perkembangan mental anak-anak tersebut.

Gambar para pahlawan tersebut adalah contoh kecil, bahwa nama-nama pahlawan di Indonesia ini, sedikit banyak memang hanya berakhir sebagai cerita sejarah. Istilahnya, cukup tahu. Cukup tahu, bahwa dahulu ada seorang pejuang bernama Imam Bonjol yang berusaha sekuat jiwa raganya mempertahankan apa yang memang menjadi miliknya, tanah air Indonesia.

Lantas, apa hanya itu yang bisa dilakukan generasi muda? Tentu saja tidak. Dengan segala kemudahan yang dimilikinya, (sesungguhnya) mereka bisa melakukan apapun. Misalnya, melakukan hal-hal yang membuat negara lain ngeh jika Indonesia memang sudah benar-benar merdeka.

Selayaknya negara yang sudah berstatus merdeka, kebebasan untuk berkreasi mengharumkan nama bangsa seharusnya bukan lagi hal yang tidak mungkin. Hal itu sudah banyak dilakukan oleh generasi muda Indonesia.

Terlihat dari beberapa perwakilan anak muda Indonesia yang berjaya di ajang-ajang internasional. Kompetisi dalam bidang keilmuan, olahraga, budaya dan lain-lain berhasil ditaklukkan. 

Dalam beberapa bidang, Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata. Siapa tahu, semangat yang dimiliki generasi muda Indonesia tersebut karena terinspirasi dari gambar-gambar pahlawan, termasuk Imam Bonjol.

Perjuangan Imam Bonjol yang terangkum dalam buku-buku sejarah memang menunjukkan sebuah tekad yang kuat. Juga semangat yang tak kalah kuat untuk tetap berada di jalurnya, mempertahankan kepercayaannya dan tanah airnya.

Cerita tentang beliau mungkin sudah ada di luar kepala Anda. Rentetan peristiwa bersejarah yang dialami beliau bisa jadi masih menempel di ingatan hingga kini. Tapi, tidak ada salahnya bukan jika kita kembali mengingat perjuangan sang pahlawan bernama asli Muhammad Shahab ini?

Tentang Muhammad Shahab

Nama tersebut pastilah asing, tapi tidak ketika nama Imam Bonjol disebutkan. Padahal, dua nama tersebut dimiliki oleh satu orang. Pahlawan bersorban ini memang terlahir dengan nama Muhammad Shahab. Beliau lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat pada 1772.

Muhammad Shahab lahir dari pasangan suami dan istri, Bayanuddin dan Hamatun. Beliau adalah putra dari seorang alim ulama. Ya, ayahnya, Bayanuddin, adalah seorang ulama dari Lima Puluh Kota, tepatnya Suliki, Sungai Rimbang. Menjadi seorang anak alim ulama berdampak pada jalan hidup Muhammad Shahab.

Beliau mendapatkan gelar seperti Peto Syarif, Malin Basa, juga gelar Tuanku Imam. Ketiga gelar tersebut tentu saja merupakan gelar penghormatan masyarakat sekitar untuk pemimpinnya. Nama ini sendiri diberikan oleh Tuanku nan Renceh. Ia adalah seorang pemimpin Harimau nan Salapan yang berasal dari Kamang, Agam.

Tuanku nan Renceh menunjuk Muhammad Shahab menjadi Imam atau pemimpin bagi kaum Padri yang ada di daerah asalnya, Bonjol. Sejak itulah namanya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol. Jika diartikan menurut sejarah penamaan, arti dari nama tersebut kurang lebih adalah pemimpin dari Bonjol.

Sebagai seorang pemimpin kaum, Muhammad Shahab dituntut untuk menjadi penjaga kaumnya. Ia pun diminta untuk mempertahankan ajaran Islam yang sudah menjadi identitasnya sejak lahir. Perjuangan pertama yang beliau lakukan sebenarnya adalah berkenaan dengan hal ini. Bukan sebagai pelawan penjajah dan berjuang menyelamatkan negara.

Terjadilah peperangan antara para pemimpin ulama dengan Yang Dipertuan Pagaruyung serta kaum adat. Peperangan tersebut dikenal juga dengan Perang Padri. Dalam pertempuran tersebut yang terlibat adalah masyarakat Minang, Mandailing, dan Batak.

Pemicu terjadinya Perang Padri adalah keinginan para ulama untuk menerapkan serta menjalankan ajaran agama Islam di Kerajaan Pagaruyung. Para ulama, termasuk Muhammad Shahab mengajak para penghuni kerajaan untuk mulai meninggalkan kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Masalah kepercayaan adalah hal yang paling sensitif, dan jelas, hal ini memicu peperangan yang cukup sengit hingga berlangsung selama 18 tahun, yaitu antara 1803 hingga 1821.

Pertempuran dengan Penjajah

Imam Bonjol - Pemimpin dari Bonjol yang Tak Mudah Kalah
credit:instagram@podcattanyasejarah

Peperangan tersebut bukan tanpa upaya damai. Tetapi nyatanya, tidak ada kesepakatan yang dicapai antara kaum Padri dengan Kaum Adat. Pergolakan malah semakin menjadi. Di bawah pimpinan Tuanku Pasaman, Kaum Padri menyerang Kerajaan Pagaruyung. Penyerangan tersebut dilakukan pada 1815. Kaum Adat pun tersudut lalu memutuskan untuk melarikan diri ke Batusangkar hingga Lubuk Jambi.

Bukannya membaik, keadaan antara dua kaum ini semakin diperparah dengan campur tangan pemerintahan Hindia Belanda yang berada di pihak Kaum Adat. Pada 12 Februari 1821, persekutuan mereka pun menyerang Kaum Padri. Sebuah perjanjian bahkan ditandatangani antara pihak Belanda dan Kerajaan Pagaruyung.

Dalam perjanjian tersebut, dinyatakan bahwa Belanda bebas menguasai daerah pedalaman Minangkabau, tepatnya wilayah Darek. Perjanjian tersebut dihadiri oleh pihak-pihak kerajaan yang berada di bawah kepemimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar.

Penyerangan pun dilakukan pihak Belanda. Mereka berhasil membuat lumpuh Simawang dan Sulit Air. Tapi, perlawanan dari Kaum Padri ternyata cukup tangguh, dan hal tersebut menyulitkan pihak Belanda.

Johannes van den Bosch pun melakukan upaya damai dengan Muhammad Shahab yang saat itu sudah menjadi pemimpin Padri. Terciptalah Perjanjian Masang pada 1824. Dan bisa ditebak, Belanda mengingkari perjanjian ini lalu menyerang nagari Pandai Sikek.

Kaum Adat mungkin mulai merasakan bahwa Belanda adalah pihak paling licik. Pada 1833, Kaum Adat akhirnya bergabung dengan Kaum Padri untuk mengusir Belanda dari tanah kelahiran mereka. Kaum Adat belakangan sadar bahwa menyetujui kerjasama dengan pihak Belanda justru menyengsarakan rakyatnya.

Bersatunya dua kaum yang mulanya berselisih ini ditandai dengan sebuah kesepakatan bernama Plakat Puncak Pato. Kesepakatan ini terjadi di Tabek Patah. Dalam kesepakatan tersebut, Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah atau artinya adat berdasarkan agama dan agama berdasarkan kitabullah disetujui sebagai landasan.

Cerita perjuangan berlanjut ketika Belanda berhasil menyerang dan mengepung benteng milik Kaum Padri dari 16 Maret hingga 17 Agustus. Penyerangan ini tidak semata-mata dilakukan oleh pihak Belanda. Kaum pribumi pun ikut mengepung, di antaranya suku di Jawa, Bugis, Ambon serta Madura. Mereka menyerang benteng pertahanan Kaum Padri.

Kuatnya hantaman yang menerjang Muhammad Syahab bersama kaumnya tidak membuat pahlawan ini menyerah. Pihak Belanda merasa kewalahan dengan hal ini. Perlu waktu lama untuk berhasil menaklukkan Bonjol. Padahal Bonjol hanyalah wilayah yang di temboki tanah liat dan dikelilingi parit.

Bukan penjajah namanya jika tidak licik. Itulah yang dilakukan pihak penjajah kepada Muhammad Shahab. Dengan alasan berunding, belanda mengundang beliau ke Palupuh. Saat itu jugalah beliau ditangkap dan dibuang ke wilayah Jawa Barat, tepatnya Cianjur. 

Beliau kemudian diasingkan ke Ambon, lalu Minahasa. Di tempat pengasingan yang terakhir itulah Muhammad Shahab akhirnya meninggal dunia.

8 November 1864 adalah tanggal bersejarah bagi Kaum Padri karena pada waktu itu, pemimpin mereka bernama Imam Bonjol meninggal dunia. Jasadnya pun tak pernah dikembalikan ke tanah kelahirannya. Beliau dimakamkan di Pineleng, Minahasa.

Posting Komentar untuk " Imam Bonjol - Pemimpin dari Bonjol yang Tak Mudah Kalah"