Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Etika Qadha dan Fidyah Puasa

fidyah-puasa
credit:instagram@mabduhtasikal

Ibadah dalam Islam adalah mudah, memiliki kemudahan, tetapi bukan untuk dimudahkan. Mudah artinya tidak menyulitkan, mungkin untuk dilaksanakan karena sesuai dengan kapasitas manusia, sebab Allah tidak membebankan sesuatu yang melebihi kemampuan umat-Nya. 

Kemudahan atau rukhsah adalah fasilitas yang diberikan Allah apabila manusia memiliki halangan atau uzur dalam menjalankan ibadah yang telah disyariatkan. Rukhsah memiliki syarat dan ketentuan sehingga manusia diharapkan tidak jatuh pada “memudahkan” atau menyepelekan suatu syariat.

Rukhsah dalam Puasa

Puasa di bulan Ramadhan adalah salah satu syariat ibadah yang diwajibkan. Kedudukannya sangat penting dan menjadi arkanul Islam ketiga, sesudah syahadat dan shalat.

Sebagai sebuah syariat ibadah wajib, puasa Ramadhan pun dilengkapi dengan fasilitas rukhsah apabila dalam suatu kondisi, seseorang terpaksa meninggalkan ibadah puasa. Rukhsah itu bernama qadha dan fidyah. 

Jumhur ulama sepakat bahwa puasa hanya boleh ditinggalkan dalam kondisi-kondisi tertentu yang termasuk dalam kategori uzur syar’i, yaitu:

1.    Musafir, atau orang yang sedang berada dalam perjalanan jauh.

2.    Orang yang sakit, yang dikhawatirkan penyakitnya bertambah parah jika melaksanakan puasa.

3.    Wanita yang sedang haid dan nifas, untuk keadaan ini diharamkan bagi mereka berpuasa.

4.    Wanita hamil dan menyusui, apabila dikhawatirkan puasa menyebabkan terganggunya kesehatan diri atau bayinya.

5.    Orang yang menderita sakit permanen yang menurut kebiasaan sangat sulit diharapkan sembuh. Termasuk dalam kategori ini adalah orang yang sudah tua.

Qadha adalah keringanan dalam bentuk “mengganti” puasa pada hari lain di luar bulan Ramadhan, sebagaimana firman Allah dalam Al Baqarah: 184, yang artinya: “Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”

Adapun fidyah adalah mengganti ibadah puasa yang ditinggalkan itu dengan sedekah, memberi makan fakir miskin. Jumhur ulama sepakat bahwa fidyah hanya boleh dilakukan oleh orang yang sudah tua, atau orang yang menderita sakit menahun yang tidak memungkinkan mengqadha puasa di hari apa pun.

Allah berfirman dalam Q.S. Al Baqarah: 184, yang artinya: “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan orang miskin.”

Kadar Fidyah

Ada beberapa pendapat berkaitan dengan kadar fidyah. Merujuk pada pendapat Sa’id bin Jubair, Ats Tsauri, Al Auza’i, dan mayoritas ulama Malikiyah dan Syafi’iyah, bahwa kadar fidyah adalah satu mud untuk satu hari puasa yang ditinggalkan.

Sedangkan Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Shalih Al Fauzan, dan ulama Hanafiyah berpendapat kadar fidyah adalah setengah sha’ dari makanan pokok di daerah setempat.

Sebagai perbandingan ukuran:

  • 1 sha’ = 4 mud.
  • 1 mud = 0, 688 liter
  • 1 sha’ = 2,75 liter.
  • ½ sha’ = 1,35 liter

Biasanya, ukuran ½ sha’ dibulatkan menjadi 1,5 kg.

Pembayaran Fidyah

Ada sedikit perbedaan mengenai waktu pembayaran fidyah. Salah satu pendapat menyebut bahwa fidyah harus dibayarkan pada hari itu juga, hari di mana seseorang meninggalkan puasa Ramadhan. 

Tapi ada pendapat lain yang membolehkan penundaan sampai hari terakhir Ramadhan. Pendapat ini merujuk pada kebiasaan sahabat Anas bin Malik r.a.

Tetapi, ada pula pendapat yang membolehkan pembayaran fidyah dilakukan selepas bulan Ramadhan, sampai menjelang Ramadhan tahun berikutnya.

Walaupun ada perbedaan tersebut, jumhur ulama sepakat bahwa fidyah tidak boleh dilaksanakan mendahului Ramadhan. Misalnya pada orang yang menderita sakit menahun dan hampir dipastikan tidak bisa melaksanakan puasa, maka orang tersebut harus menunggu sampai bulan Ramadhan, baru dia boleh membayar fidyah.

Bagaimana jika fidyah belum dibayarkan sampai Ramadhan tahun berikutnya?

Dalam kasus semacam ini, Imam Syafi’i berpendapat bahwa fidyah-nya menjadi berlipat sebanyak tahun yang terlewat. Tetapi pendapat ini ditentang oleh ulama lain, misalnya Abu Hanifah yang berpendapat jumlah fidyah tetap sama walaupun dibayarkan terlambat.

Adapun mengenai tata cara pembayarannya, ada beberapa pendapat berbeda. Salah satu pendapat menyebutkan bahwa fidyah tidak boleh diganti dengan uang. Artinya, fidyah harus diwujudkan dalam bentuk memberi makan orang miskin, atau menyerahkan bahan makanan kepada mereka.

Pendapat ini berawal dari sikap kehati-hatian dalam beribadah, di mana merujuk kepada nash Quran yang menyebut: “memberi makan.”

Imam Hanafi memiliki pendapat yang berbeda dengan membolehkan pembayaran fidyah menggunakan uang. Pendapat beliau berdasar pada pendapat bahwa agama adalah kemudahan. Di samping itu, tidak ada nash yang melarang penggunaan uang dalam membayar fidyah puasa. 

Fidyah Qadha Pada Ibu Hamil dan Menyusui

fidyah-puasa-ibu-menyusui

Bukti kerahiman atau Maha Kasih Allah ditunjukkan dengan tetap  adanya keringanan (rukhsah) ketika satu kewajiban ditetapkan. Berpuasa pada bulan Ramadhan diwajibkan bagi seluruh muslim yang sudah baligh dan dalam keadaan berakal.

Meski puasa terbukti secara ilmiah memberikan efek yang menyehatkan bagi tubuh, bagi orang-orang tertentu puasa tidak dapat dilakukan bahkan tidak dianjurkan. Atas mereka yang tidak dapat berpuasa diberikan konsekuensi Fidyah Qadha, membayar puasa di hari lain (qadha) atau pengganti makanan bagi orang miskin (fidyah).

Pemakluman ini dijelaskan Allah dalam Al-Quran Surah Albaqarah ayat 184 : “…Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah yaitu memberi makan orang miskin. “

Ibu hamil dan menyusui dianggap salah satu golongan orang-orang yang mendapat rukhsah. Pada mereka diperlukan energi ekstra yang apabila tidak dipenuhi dapat mengakibatkan konsekuensi kesehatan bagi ibu maupun janin. Tetapi kemudian terjadi perbedaan pendapat  dalam pelaksanaan rukhsah ini.

Pendapat Berkenaan Dengan Fidyah Qadha

Pendapat-pendapat yang mengenai ketentuan fidyah dan qadha bagi ibu hamil dan menyusui adalah sebagai berikut:

Ibu hamil dan menyusui harus membayar qadha maupun fidyah. Penganut pendapat ini adalah mazhab Syafi'i dan Hambali. Dasar dari pendapat ini adalah sang Ibu hanya mengkhawatirkan kesehatan janin semata, sementara ia tetap dapat berpuasa. Sementara Mazhab Maliki berpendapat untuk ibu menyusui wajib membayar qadha maupun fidyah.

Ibu hamil dan menyusui membayar qadha saja. Mazhab Hanafi menganut pemahaman bahwa ibu hamil dan menyusui hanya berkewajiban membayar qadha tanpa kewajiban membayar fidyah.

Ibu hamil membayar fidyah saja. Mazhab Malik menganut pemahaman bahwa ibu hamil dapat mengganti puasa dengan hanya membayar fidyah.

Sementara, ada pula pendapat yang menentukan berlakunya fidyah atau qadha bagi ibu hamil dan menyusui berdasarkan keadaan.

Kekhawatiran menyangkut kesehatan dan keselamatan Ibu dan bayi. Imam Nawawi berpendapat untuk kondisi seperti ini maka sang Ibu hanya wajib membayar qadha tanpa membayar fidyah.

Kekhawatiran menyangkut kesehatan dan keselamatan hanya Ibu saja. Keadaan seperti ini dapat dianalogikan dengan orang yang sedang sakit, sehingga bagi sang ibu hanya wajib untuk membayar qadha.

Kekhawatiran menyangkut kesehatan dan keselamatan hanya bayi saja. Untuk kondisi yang ini terdapat tiga pendapat konsekuensi yang harus dijalani oleh sang ibu, yaitu membayar qadha saja, membayar fidyah saja dan membayar keduanya fidyah ataupun qadha.

Perbedaan pendapat mengenai fidyah dan qadha bagi ibu hamil dan menyusui ini hendaknya tidak menjadikan puasa Ramadhan berkurang makna dan kekhususannya. Seorang ibu dapat memilih pendapat yang paling diyakini berdasarkan kata hati, kesanggupan dan konsultasi dengan alim ulama. 

Wallahualam bissawab.

Posting Komentar untuk " Etika Qadha dan Fidyah Puasa"