Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pembahasan Emosi dalam Perspektif Psikologi dan Islam

emosi

Apa yang ada dalam benak Anda ketika kata “emosi” disebutkan? Persepsi banyak orang hampir serupa, bahwa emosi identik dengan kemarahan. Dengan demikian, emosi adalah marah dan marah adalah emosi! Pada sisi lain, kita jarang mendengar kata emosi dikaitkan dengan ekspresi jijik, takut, senang, kasmaran, sedih, dan lainnya. 

Dalam perspektif orang kebanyakan (baca: orang awam) emosi berarti marah. Akan tetapi, emosi dalam psikologi bukan hanya marah. Marah hanyalah satu dari sekian banyak jenis emosi. Sedih adalah bagian dari emosi. Jijik adalah bagian dari emosi.

Demikian pula rasa senang, bahagia, euforia, jatuh cinta, bete, terkejut, pucat pasi, dan sebagainya, itu semua adalah bagian dari emosi. Pada intinya, ada beragam jenis emosi dalam diri manusia, di mana setiap emosi memiliki ciri, karakteristik, dan pengungkapan yang berbeda dengan emosi lainnya.

Sejatinya, pembahasan emosi dalam psikologi memiliki tempat yang istimewa. Emosi termasuk objek kajian terbesar dalam psikologi. Pengungkapan dan penjabaran tentang emosi memungkinkan manusia untuk menilai dirinya secara lebih luas dan mendalam.

Pertanyaannya sekarang, apa yang dimaksud emosi menurut ilmu psikologi? Tidak ada jawaban yang pasti. Walaupun emosi itu sangat mudah dideteksi, dilihat, dan dirasakan bahkan oleh semua orang, emosi terbilang sulit didefinisikan oleh psikolog kawakan sekalipun.

Salah satu penyebabnya adalah karena ada banyak jenis emosi yang dirasakan manusia sehingga perbendaharaan kata yang ada tidak cukup untuk mewakilinya. Dalam konteks ini kita sering berkata, “Gimana ya, apa yang aku rasakan sangat sulit diungkapkan dengan kata-kata!”

Karena sulitnya mendefinisikan emosi, di antara psikolog pun tidak ada “kata sepakat” tentang apa itu emosi. Lindsay-Hartz menganggap hal ini sebagai sebuah ironi. Dia mengatakan, “Ironically, we probably know more about the rings of Saturn than the emotions we experience every day!” Artinya, manusia itu lebih mengetahui seluk beluk beragam benda luar angkasa, semacam cincin Saturnus, daripada emosi yang ada dalam dirinya dan dirasakan setiap hari.

Untuk menyiasati kesulitan tersebut, ketika membahas apa sebenarnya emosi, para psikolog hanya mengungkapkan kriteria, ciri-ciri, atau panduan yang bisa menuntun seseorang untuk memahami apa dan bagaimana emosi itu. Setidaknya ada lima hal yang dapat memandu kita dalam memahami emosi.

Pertama, emosi adalah sesuatu yang kita rasakan pada saat terjadinya, semisal ketika marah; kita merasakan bahwa kita marah. 

Kedua, emosi dikenal bersifat fisiologis dan berbasis pada perasaan emosional, artinya emosi mempengaruhi fisik, semacam jantung berdebar, berkeringat, melonjaknya hormon-hormon dalam darah, dan lainnya. Ketiga, emosi pada saat kedatangannya menimbulkan efek pada persepsi, pemikiran, dan perilaku.

Keempat, emosi menimbulkan dorongan atau motivasi pada orang yang mengalaminya; dengan kata lain, emosi melahirkan energi yang menjadikan seseorang “bergerak”. Kelima, emosi mengacu pada cara pengekspresian yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, ekspresi wajah, isyarat, tindakan tertentu, dan sebagainya.

Panduan ini seakan kembali menegaskan bahwa emosi adalah sesuatu yang khas yang hadir dalam hidup manusia. Ia sangat mudah dirasakan namun sulit didefinisikan. Ia demikian luas, kompleks, dan terkadang sangat subjektif, sehingga sebuah definisi hanya akan membatasi dan mengaburkan makna emosi yang sebenarnya.

Marah Bukan Emosi Dasar Milik Manusia

Tidak jarang terdengar bahwa kesabaran itu ada batasnya. Perkataan ini menjadi satu tameng yang membuat orang menjadi merasa tidak masalah untuk marah dengan emosi yang meledak-ledak. 

Padahal sesungguhnya kalau kesabaran itu berbatas, seharusnya, manusia pilihan itu akan terlihat banyak marahnya. Padahal manusia pilihan seperti Rasulullah tidak mempunyai batas dalam bersabar. Marah itu bukan emosi dasar manusia.

Marah dari Setan

emosi

Jika manusia marah, emosi itu datangnya dari setan. Oleh karena itulah ketika emosi telah meradang, Rasulullah SAW menganjurkan orang yang emosi sedang berdiri untuk duduk. Kalau marah sedang duduk, hendaknya ia berbaring. 

Kemarahan yang membara harus disiram dengan air wudhu. Kalau kemarahan itu berlangsung lama, kemarahan akan membuat fisik menjadi sakit. Organ hati menjadi salah satu yang paling menderita.

Darah menjadi mengental sehingga pasokan darah segar ke jantung dan otak pun menjadi terganggu. Jantung berdebar kencang dan otak pun tak mampu berfungsi dengan baik sehingga kepala menjadi terasa sangat berat. 

Bila tidak diatasi dengan teknik pernapasan dan meminum banyak air serta berusaha mengalihkan pikiran kepada hal-hal yang lebih menyenangkan, orang tersebut bisa saja terkena stroke atau minimal pingsan.

Vertigo pun bisa menjadi penyakit harian yang sering datang tanpa diundang. Diri menjadi merasa paling baik sehingga mempunyai hak untuk marah kepada orang lain. 

Padahal Allah SWT saja memberikan toleransi dan waktu untuk bertaubat bagi hamba-hambanya yang bersalah. Orang membangkang atas perintahnya tidak langsung diadili dan diberi hukuman. Allah SWT yang Maha Pengampun itu tidak pernah mengingkari janjinya.

Buktinya, Almarhum Ustadz Jeffry Al-Buchori yang masa mudanya sangat kelam pun diberi pintu taubat yang sangat luas sehingga kematiannya menjadi satu pelajaran yang luar biasa bagi orang-orang yang berpikir. Tidak boleh menghakimi orang lain yang sedang berada dalam kesesatan. Tidak ada jaminan orang yang baik sekarang ini akan tetap baik besok.

Godaan begitu besar. Tidak sedikit diketahui orang yang baik itu di masa tuanya malah masuk penjara gara-gara terlibat kasus korupsi. Tetap menjadi baik adalah satu pilihan yang mutlak dilakukan. Tentunya tanpa menghakimi orang lain. 

Menghentikan kemaksiatan itu tidak dengan kemarahan yang membabi buta seperti yang sering diperlihatkan oleh orang-orang yang merasa harus melakukannya. Nyatanya, mereka yang dimarahi itu tetap saja melakukan kemaksiatannya.

Manusia hanya bisa menyampaikan kebaikan. Hidayah itu bukan urusan manusia. Tidak jarang juga Allah SWT mengambil nyawa orang yang masih muda demi menjaga orang lain dari kejahatan yang mungkin akan dilakukan oleh orang muda itu. 

Allah SWT juga mengambil nyawa orang muda yang baik agar orang muda itu tidak terjerumus ke dalam kenistaan yang lebih parah. Semua itu adalah pelajaran yang membuat orang yang berpikir untuk terus mencari ilmu agar tidak merasa dirinya lebih baik.

Ketika tidak merasa lebih baik, kemarahan itu mudah reda. Bayangkan kalau guru mudah marah. Apa yang akan terjadi pada murid-muridnya? Bila kemarahan itu tidak pada tempatnya dan dipertontonkan setiap hari, pada suatu saat anak-anak akan memberontak. Tidak ada kebaikan dalam kemarahan yang meledak-ledak. Marah itu boleh tetapi dengan cara yang sopan dan tidak menimbulkan anarkisme baru.

Anak-anak yang dididik dengan kemarahan akan tumbuh menjadi jiwa yang mudah tersulut. Seolah tidak ada pemecahan yang lebih baik daripada dengan jalan marah. Sebaliknya, anak-anak yang tumbuh dalam kelembutan akan menjadi jiwa yang kuat karena ia pandai menyimpan amarahnya. Pemimpin yang baik itu adalah pemimpin yang tahu bagaimana mengendalikan emosinya.

Umar bin Khattab terkenal dengan emosinya yang besar. Tetapi ia mampu mengendalikannya ketika sinar Islam telah masuk ke dalam hatinya. Jangan heran kalau hanya dengan menggores sebuah tulang lalu diberikan kepada salah satu gubernurnya, sang gubernur langsung paham dan sadar dari perbuatannya yang salah.

Saat Rasulullah wafat, Umar marah. Ia bahkan mengancam orang-orang yang mengatakan kalau Rasulullah telah tiada. Ini adalah ungkap kesedihan yang mendalam yang dirasakannya ketika orang yang ia sangat cintai itu menghadap Sang Pencipta. 

Tetapi Umar bin Khattab langsung sadar ketika sahabatnya Abu Bakar as-Siddiq mengatakan bahwa Rasulullah itu hanya manusia biasa yang pasti mati. Hanya Allah SWT yang tidak mati. Emosi Umar pun reda.

Bahwa setan itu tidak akan pernah berhenti menggoda manusia agar marah-marah adalah satu hal yang harus dipahami dengan baik. Untuk itulah nafsu setan berupa marah ini harus dibasmi. Tidak mudah memang untuk selalu ingat dan berusaha sabar. Saling mengingatkan dan saling menenangkan adalah langkah yang baik yang harus ada di setiap lingkungan.

Kesabaran Bukan Bentuk Kelemahan

Orang yang sabar itu bukannya orang yang tidak pernah marah. Rasulullah pun marah terhadap kemaksiatan. Tetapi cara marahnya memang berbeda. 

Sabar itu banyak contohnya. Sabar terhadap godaan setan adalah bentuk yang sangat sulit dilakukan. Bagaimana tidak kalau manusia merasa tidak berdosa ketika ia lebih banyak berkutik dengan ponselnya daripada berzikir. Banyak yang tidak sabar ketika membaca wirid yang panjang.

Lebih tidak sabar lagi ketika imam membaca surat yang sedikit panjang. Tidak sabar juga menahan kantuk dan berwudhu untuk sholat tahajud. Malahan semakin tidak sabar melakukan zina dengan lebih sering bersama lawan jenis. 

Tidak sabar menanti hari pernikahan sehingga telah berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukan. Tidak sabar menjadikan manusia tenggelam dalam dosa besar. Padahal pasti ada solusi dari segala macam masalah.

Ketidaksabaran terkadang membuat semua orang berdosa terutama orang tua yang membiarkan anak-anak mereka yang belum sah dan halal itu selalu bersama. Padahal, hal tersebut bisa dicegah dengan sebuah nasihat dan contoh yang baik. Tunjukkan kasih sayang Anda sebagai orang tua, tuntun anak-anak ke jalan yang baik. Bukan malah mendidiknya dengan cara yang

Sering kali emosi sesaat malah menimbulkan penyesalan yang tiada berbatas. Kalau waktu yang diberikan oleh Tuhan dimanfaatkan untuk bertaubat, tidak masalah. Tetapi terkadang manusia justru lupa dan terus melakukan maksiat. Walaupun maksiat itu tidak ditujukan kepada banyak orang, Allah SWT pasti tahu. Lalu kalau sudah seperti ini, pelajaran apa yang bisa diambil.

Bersabar itu bukan bentuk kelemahan dan menghindar dari masalah. Manusia yang terzalimi boleh saja membalas yang telah dilakukan oleh orang lain. Namun kalau jalan sabar yang dipilih, surga adalah tempat yang paling tepat baginya. 

Bersama dengan orang-orang yang sabar itu akan meningkatkan grafik kesabaran. Sebaliknya kalau berada bersama orang-orang yang lebih memilih kemarahan sebagai jalur pemecahan masalah, maka grafik kemarahan akan meningkat pula.

Agar marah tidak menjadi emosi dasar manusia yang ditonjolkan, temanilah orang-orang yang menghindari kemarahan. Pengaruh mereka akan sangat kuat. Pengaruh inilah yang akan membentuk karakter yang baik dalam mengatasi rasa marah.

Posting Komentar untuk " Pembahasan Emosi dalam Perspektif Psikologi dan Islam"