Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Nahdhatul Ulama (NU)

Sejarah Nahdhatul Ulama (NU)
credit:instagram@nahdhatululama

Nahdhatul  Ulama dikenal luas sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia. Bahkan saat ini sudah banyak politikus yang berasal dari Nahdhatul Ulama ikut berkecimpung dalam birokrasi pemerintahan di Negara Republik Indonesia.

Nahdhatul Ulama sebetulnya bukanlah pemain baru dalam percaturan politik nasional. Organisasi Islam ini sudah mulai terjun dalam politik praktis pada pemilihan umum tahun 1955 sebagai partai politik dan berhasil meraih 45 kursi Dewan Perwakilan Rakyat dan 91 kursi Konstituante.  

Partai Nahdhatul Ulama pada era pemerintahan Presiden Soekarno dikenal sangat loyal sebagai pendukung setia Presiden Republik Indonesia pertama tersebut. 

Sejarah Perjalanan Nahdhatul Ulama

Nahdhatul Ulama pada awalnya berdiri sebagai sebuah organisasi masyarakat berbasis ajaran Islam. Nahdhatul Ulama resmi berdiri pada tanggal 31 Januari 1926, dan menunjuk K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar atau pimpinan tertinggi organisasi.

Nahdhatul Ulama yang memiliki makna kebangkitan ulama atau kebangkitan cendekiawan Islam, didirikan sebagai wujud keprihatinan atas keterbelakangan mental, sosial dan ekonomi yang dialami bangsa Indonesia akibat penjajahan ratusan tahun dan tradisi yang dibelenggu. 

Nahdhatul Ulama peduli di bidang pendidikan, sosial dan ekonomi dengan mengaplikasikan paham Ahlussunah waljama'ah. Paham ini adalah paham moderat yang merupakan jalan tengah di antara dua paham ekstrem paham ekstrem aqli (rasionalis) dan paham ekstrem naqli (skripturalis).

Paham Ahlussunah waljama'ah dipilih sebagai landasan dan cara berpikir penganut Nahdhatul Ulama, dicetuskan oleh para tokoh pendiri organisasi, seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi. Mereka tersohor sebagai tokoh Nahdhatul Ulama yang sangat memahami persoalan keagamaan atau teologi.

Nahdhatul Ulama memiliki basis massa yang sangat besar. Basis massa Nahdhatul Ulama terbagi dalam beberapa golongan, yaitu : anggota, pendukung atau simpatisan, serta kaum muslim tradisionalis yang memiliki visi dan paham yang sejalan dengan Nahdhatul Ulama.

Basis massa Nahdhatul Ulama sebagian besar berada di daerah pedesaan, yang terdiri dari kaum santri dan para petani. 

Namun seiring dengan perkembangan taraf hidup masyarakat, pengikut Nahdhatul Ulama kini tidak hanya berasal dari kalangan petani dan rakyat jelata di pedesaan, namun juga berasal dari profesi yang beragam.  

Ditinjau dari asal daerah, mayoritas pendukung Nahdhatul Ulama berdomisili di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera. 

Pada umumnya, basis massa Nahdhatul Ulama mereka yang memiliki hubungan kuat dengan pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan juga sebagai cagar budaya NU.

Saiful Mujani pada tahun 2002 melakukan penelitian, diperoleh bahwa sekitar 48 % santri di Indonesia merupakan anggota dan simpatisan Nahdhatul Ulama. 

Sementara dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Suaidi Asyari, didapat hasil bahwa sekitar 51 juta warga muslim santri di Indonesia merupakan pendukung atau pengikut paham keagamaan yang dimasyarakatkan oleh Nahdhatul Ulama.  

Pesantren Sebagai Basis Islam Lokal Nahdhatul Ulama

Pengembangan pondok pesantren dan madrasah menjadi konsentrasi Nahdlatul Ulama dalam mewujudkan komitmen untuk memperkuat basis penguata Islam lokal di Indonesia.

Hal ini dilakukan sebagai langkah antisipasi terjadinya kelunturan nasionalisme dan rasa kebangsaan di kalangan masyarakat dengan tradisi keislaman yang kuat.

Kekuatan Islam yang membumi dengan tradisi lokal diwujudkan dengan mengangkat pesantren sebagai institusi pendidikan khas Indonesia yang sarat dengan muatan lokal dan toleran. 

Nahdhatul Ulama ingin mengubah pandangan pesantren di mata masyarakat dunia Internasional yang menyamakan pesantren di Indonesia dengan lembaga pendidikan serupa di Timur Tengah yang sering dianggap sebagai basis teroris.

Nahdhatul Ulama menilai perlu adanya advokasi dan sosialisasi kepada masyarakat nasional dan internasional tentang dunia pesantren yang sebenarnya. 

Nahdhatul Ulama sangat ingin menyampaikan bahwa pesantren dan madrasah adalah lembaga pendidikan yang memiliki tugas menggali kearifan lokal yang selaras dengan nilai-nilai Islami. 

Tradisi dan kearifan lokal tersebut memiliki kontribusi yang besar terhadap identitas bangsa dan mempertahankan kesatuan Negara Republik Indonesia. 

Nahdhatul Ulama dalam Kancah Politik 

Nahdhatul Ulama bukanlah sekadar organisasi kemasyarakatan yang bergerak di bidang sosial, ekonomi dan pendidikan. Nahdhatul Ulama juga dikenal sebagai partai politik yang sangat jaya di era tahun 1950an.

Peran Nahdhatul Ulama di kancah politik nasional, dimulai pada 1952 setelah resmi menyatakan berpisah dari Partai Masyumi. Nahdhatul Ulama kemudian mengikuti pemilihan umum tahun 1955, dan berhasil memenangi 45 kursi di DPR dan 91 kursi di Konstituante. 

Nahdhatul Ulama kemudian menjadi sebuah partai politik yang sangat disegani dan dikenal sebagai pendukung setia Presiden Soekarno.

Pada era pasca pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) Nahdhatul Ulama sangat aktif menekan pergerakan PKI melalui Gerakan Pemuda GP Ansor. Dalam perjalanannya dalam kancah politik nasional, Nahdhatul Ulama kemudian menggabungkan diri dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tanggal 5 Januari 1973.

Bersama dengan PPP, Nahdhatul Ulama mengikuti 2 kali pemilihan umum, yaitu pada tahun 1977 dan 1982. Setelah era orde baru, yaitu pasca reformasi tahun 1998, bermunculan partai-partai politik baru yang mengatasnamakan Nahdhatul Ulama.

Salah satu partai Nahdhatul Ulama terbesar adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang pendiriannya dideklarasikan Kyai Abdurrahman Wahid Atau Gus Dur. Sebelumnya, Gus Dur telah dikenal sebagai tokoh Nahdhatul Ulama yang sangat kritis terhadap pemerintah, dengan pola pikir moderat yang acapkali dipandang sebagai sebuah pemikirian yang kontroversial.

Pemilu tahun 1999, PKB berhasil mengantarkan Gus Dur dalam tampuk kepemimpinan sebagai Presiden Republik Indonesia, dan memeroleh 51 kursi di DPR. Kemudian dalam pemilu tahun 2004, PKB kembali memeroleh 52 kursi di DPR. 

Menyongsong pemilu tahun 2014, beberapa partai politik berbasis Nahdhatul Ulama siap berkoaliasi, yaitu PKB, PKNU, PPNU dan PBR.  

Dalam kancah politik nasional, kita mengenal beberapa nama politikus populer yang berasal dari Nahdhatul Ulama. 

Sebut saja Gus Dur yang sangat legendaris dan menjadi tokoh panutan bagi pengikut Nasdatul Ulama, Muhaimin Iskandar yang pernah menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Chofiffah Indar Parawansa mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Hasyim Muzadi mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Yeni Wahid yang merupakan putri Gus Dur, dan masih banyak nama lainnya. 

Sembilan Pedoman Berpolitik Warga Nahdhatul Ulama

Dalam kiprah politiknya, warga Nahdhatul Ulama memegang 9 pedoman berpolitik, yang merupakan hasil Muktamar NU XVIII di Krapayak Yogyakarta pada tahun 1989. 

Sembilan Pedoman berpolitik warga Nahdhatul Ulama tersebut adalah :

Terlibat secara menyeluruh sebagai warga negara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

Berpolitik dengan wawasan kebangsaan menuju integritas bangsa dengan menjunjungtinggi persatuan dan kesatuan demi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir dan batin.

Mengembangkan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam mencapai kemaslahatan bersama.

Berpolitik dengan moral, etika, dan budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi Persatuan Indonesia, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;

Menjunjung tinggi kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah.

Berkomitmen untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional dan dilaksanakan sesuai dengan akhlaq al karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunah Waljamaah.

Tidak dibenarkan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.

Perbedaan pandangan dan aspirasi politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’ dan saling menghargai satu sama lain.

Harus melaksanakan sistem komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk mengembangkan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana untuk berserikat, menyatukan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.

Demikianlah uraian tentang sejarah Nahdhatul Ulama (NU), semoga informasi ini dapat menambah wawasan Anda.

Posting Komentar untuk " Sejarah Nahdhatul Ulama (NU)"