Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tradisi Mudik dan Hari Raya

Tradisi Mudik dan Hari Raya
credit:instagram@bisniswisatacoid

Hari-hari ini, kita akan terus mendengar kata ‘mudik’ diucapkan. Dan pada hari-hari mendekati lebaran, bukan lagi mengucapkan kata mudik. Melainkan telah menjalankan mudik. Kota-kota di Indonesia ada yang berkurang penduduknya, tetapi ada yang padat karena diisi oleh para pemudik.

Hari Raya Idul Fitri atau disebut juga hari Lebaran tahun ini sudah semakin dekat, kurang lebih setengah bulan lagi. Tetapi seperti biasanya, orang-orang yang akan mudik untuk keperluan sungkem dan lainnya sudah mulai sibuk dan ramai. 

Mereka yang hendak naik kereta api, sudah segera membeli tiket kereta. Sebab jika mengandalkan menjelang Lebaran jelas tidak akan kebagian. Dapat tiket paling dari calo, yang sebenarnya sudah dilarang oleh pemerintah. 

Namun asal tidak ketahuan, calo tetap saja berseliweran mencari mangsa. Kalau sudah begitu, tiket di tangan calo harganya bisa dua kali lipat atau bahkan bisa lebih. Untuk mencegah calo, sebulan sebelum Lebaran, PT KAI sudah membuka tiket untuk para pemudik. 

Tetapi sekali lagi, harga karcis untuk kelas bisnis dan eksekutif juga sudah dinaikkan terlebih dahulu. Demikian saja yang antri juga berdesak-desakan jumlahnya sangat banyak.

Tidak berbeda dengan jenis transportasi lainnya, seperti kapal laut, pesawat, atau kendaraan darat dan pribadi, tentu juga mengalami masalah sama di setiap tahunnya. Yang jalannya macet, karena penuhnya motor dan mobil atau jalannya yang rusak diperbaiki tidak kunjung selesai sudah menjadi masalah rutin. 

Belum lagi yang naik kapal laut semua antri di pelabuhan hingga berhari-hari dan berdesak-desakan ketika menuju dan naik kapal. Yang tidak begitu banyak masalah hanya pesawat, sebab memang untuk kelas orang kaya, jadi yang diprioritaskan kualitas pelayanannya. 

Sementara semua transportasi kelas ekonomi untuk rakyat miskin, umumnya hanya asal-asalan saja. Memang semua itu tidak bisa lepas dari pepatah “ada harga ada kualitas barang”. Jika ingin nyaman ya harus keluar uang lebih banyak.

Maka dari itu, harus bisa menyiasati situasi ketika hendak mudik Lebaran. Mudik Lebaran memang perlu dan sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Indonesia. Bisa dengan cara memberangkatkan terlebih dahulu anak-anak sebelum ramai, ketika anak-anak sudah liburan sekolah. 

Bisa juga memilih hari mudik tepat hari Lebaran, tentunya kemacetan sudah agak berkurang. Yang penting bisa mudik Lebaran dan bertemu dengan keluarga dan sanak saudara. Jika memang tidak ada uang atau bekalnya pas-pasan, sebaiknya memang ditunda dulu. 

Besuk jika sudah ada uang dan waktu luang bisa dilaksanakan. Tetapi memang sulit memberi pengertian bagi orang banyak itu, apalagi jika mudiknya itu hanya karena ingin memamerkan kekayaan saat merantau di kota dan tanah sebrang.

Yogya bukan jenis kota yang sepi dari pemudik. Malah sebaliknya, kota ini padat oleh pemudik. Orang-orang yang telah lama pergi meninggalkan kampungnya di Yogya untuk bekerja di kota lain, akan kembali ke kampungnya. 

Namun ada juga, orang yang mudik ke Yogya bukan ingin kembali ke kampungnya, tetapi merasa kangen pada Yogya, sebab pernah tinggal di Yogya cukup lama untuk menuntut ilmu, dan rasa kangen pada Yogya ‘dipenuhi’ melalui mudik, untuk bertemu dengan teman-temannya, atau juga ‘menengok’ tempat kosnya.

Aktivitas mudik tidak bisa dilepaskan dari upaya untuk mendapatkan tiket perjalanan, entah menggunakan kereta api, bus, kapal laut atau pesawat terbang. Para pemudik tahu, tiket perjalanan harganya pasti naik lebih besar dari biasanya. Seolah, penjual tiket jasa angkutan sudah tahu, harga tiket yang lebih tinggi tetap akan dibeli oleh pemudik.

Disejumlah tempat penjual tiket kereta api, di Jakarta maupun di Yogya, selalu penuh dengan calon pemudik yang hendak pulang kampung. Para pemudik rela antri untuk mendapatkan tiket, dan setiap tahun upaya mendapatkan tiket sepertinya tidak ada perbaikan sehingga selalu saja antrian melebihi jumlah tiket yang disediakan. 

Lebih parah lagi, apabila jumlah tiket melebihi kapasitas penumpang. Hal yang membahayakan seperti ini seringkali diabaikan. Penumpang dan pengelola transporatasi acap abai. Masing-masing memiliki alasan yang berbeda. Yang satu alasannya keuntungan ekonomis, yang lainnya memenuhi kepentingan mudik.

Kenapa mudik begitu penting?

Ya, karena mudik kembali pada kampung halaman. Kembali pada asal muasal. Artinya kembali ke ‘nol’. Seluruh proses yang dijalani selama ini, sukses atau setengah sukses, atau juga gagal, sulit mengabaikan mudik. 

Upacara ini perlu dilakukan untuk kembali ke asal. Simbol dari asal adalah kampung halaman. Tanah kelahiran. Sebagaimana kelahiran yang melalui proses tidak gampang dan disertai rasa sakit. Demikian pula mudik, untuk kembali ke tempat kelahiran, proses yang susah harus ditempuh.

Setelah satu bulan menjalani puasa, upaya untuk mengalahkan hawa nafsu, suatu proses yang tidak gampang. Akhir dari proses ditandai bersyukur kepada Tuhan dan saling memaafkan kepada handai taulan. Di kampung halaman, yang merupakan tempat kelahiaran, hanya rasa bahagia yang dirasakan.

Begitulah, minggu-minggu ini kita akan melihat berjuta orang kembali ke tanah kelahiran untuk merayakan kebahagiaan. Bukan berarti ditempat ‘yang baru’ tidak bahagia. Sama sekali tidak ada hubungannya. 

Tempat kelahiran adalah ikatan antara sejarah masa lalu dengan kekinian, karena itu ‘sejarah’ itu tidak bisa diputus. Orang seringkali merunut tali sejarahnya sampai ke ujung awal, dan hanya di kampung halaman, tempat dimana dilahirkan, ujung awal itu bisa ditemukan.

Kita tahu, selama mudik lebaran tiba, setidaknya selama satu minggu atau lebih sedikit, Yogyakarta akan penuh orang. Tempat-tempat wisata tidak akan sepi dari kehadiran orang. Tempat-tempat makan, utamanya setelah lebaran hari kedua dan seterusnya akan penuh sesak. 

Masing-masing orang saling merayakan kebahagiannnya dengan cara masing-masing. Yang pasti, masing-masing telah saling memaafkan akan kesalahan yang telah dilakukan dan diperbuat, disadari atau tidak.

Mudik, adalah momentum untuk ‘kembali’ pada asal mula, untuk kemudian akan diteruskan lagi pada langkah selanjutnya.

Di Yogya, obyek wisata yang selalu ramai pada masa mudik adalah pantai, kebun binatang, candi-candi, misalnya candi Prambanan. Pantai-pantai yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta, biasanya penuh wisatawan mudik. 

Gembira loka, biasanya pula, penuh sesak pengunjung sehingga untuk berjalan saja mesti berdesakan. Pendek kata, pada masa mudik ini, Yogya akan penuh orang. Lalu lintas padat dan macet. Kebahagiaan menyertai dalam situasi seperti itu.

Namun, semenjak pandemi COVID-19 melanda tahun lalu, tampaknya Pemerintah akan menetapkan aturan larangan mudik tahun ini. Dan itu artinya sama dengan tahun 2020 yang lalu masyarakat di larang untuk mudik ke kampung halamannya.

Kita tidak akan melihat suasana seperti yang sudah saya jelaskan di atas tahun ini. Kita tidak bisa memaksakan diri, karena aturan larangan mudik tersebut di buat oleh pemerintah semata - mata hanya untuk melindungi keselamatan dan kesehatan warga negaranya.

Kita hanya bisa berharap dan berdo'a, semoga pandemi COVID-19 ini segera berakhir dan kita dapat kembali melaksanakan tradisi mudik seperti tahun - tahun yang lalu.

Pada suasana menjelang lebaran ini, dan tidak bermaksud mendahului, tidak lupa kita mengucapkan mohon maaf lahir dan batin.

Posting Komentar untuk "Tradisi Mudik dan Hari Raya"