Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Masjid Kauman Pijenan

 

Sejarah Masjid Kaum

Berdasarkan catatan sejarah, angka tahun pendirian masjid ini tidak pernah diketahui dengan pasti. Akan tetapi jika memang Panembahan Bodo hidup sezaman dengan Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya, kemungkinan besar masjid ini dibuat pada kisaran abad ke-16.

Masjid Kauman Pijenan yang disebut juga dengan nama Masjid Sabiilurrosyaad, atau Masjid Panembahan Bodo, atau Masjid Syeh Sewu secara administratif terletak di Dusun Kauman, Kelurahan Wijirejo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, DIY.

Lokasi masjid ini dapat dijangku melalui Perempatan Masjid Agung Bantul ke barat-pertigaan ke selatan-perempatan pertama ke barat (arah Gua Selarong)-setelah menyeberang Jembatan Sungai Bedog lalu ke selatan-ikuti jalan ini hingga sampai Lembaga Pemasyarakatan Bantul. 

Setelah itu ambil arah ke selatan sampai Dusun Santan ambil jalan ke barat (arah Makam Sewu), setelah sampai di Pasar Pijenan terus ke selatan (jalan dusun). Setelah menemukan pertigaan dusun ambil arah ke barat. 

Jarak lokasi dengan pertigaan kecil dusun yang dimaksud sekitar 100 meter. Sedangkan jarak lokasi dengan Pasar Pijenan sekitar 300 meter.

Kondisi Fisik Masjid

Masjid Kauman Pijenan telah mengalami banyak perkembangan. Hal demikian disesuaikan dengan kebutuhan dan zamannya. Ruang utama masjid yang semula berukuran 7 m x 7 m pun telah mengalami perluasan menjadi 13,5 m x 13,5 m. Perluasan dilaksanakan pada 1 Mei 1995 hingga 7 Juli 1997. 

Sedangkan angka tahun pendirian masjid ini tidak pernah diketahui dengan pasti. Akan tetapi jika memang Panembahan Bodo hidup sezaman dengan Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya, kemungkinan besar masjid ini dibuat pada kisaran abad ke-16.

Interior Masjid Sabiilurrosyaad

Masjid ini juga menyimpan beberapa benda kuno, yakni Watu Gilang yang tidak lain adalah Yoni dan jam matahari yang disebut Bencet. Kedua benda ini ditempatkan di sisi kiri dari serambi masjid. Ukuran Yoni sekitar 50 cm x 50 cm dan tingginya sekitar 60 cm.

Sedangkan Jam Bencet merupakan jam sederhana yang berupa tuas (jarum) tunggal yang diletakkan pada titik tengah atas dari sebuah plat kuningan berbentuk busur terbalik. Plat dari logam kuningan ini memiliki angka-angka tertentu. 

Jika matahari terbit dari timur maka tuas atau jarum dari Jam Bencet akan membentuk bayangan yang jatuh ke kiri dari arah hadap jam (bukan dari arah hadap orang melihat). Bayangan ini akan menimpa angka-angka yang dituliskan pada plat tersebut. 

Demikian pun jika matahari berada tepat di atas, maka tuas akan membentuk bayangan yang jatuh ke bawah dan menimpa angka yang berada di bawahnya. Jatuhnya bayangan tuas atau jarum yang menimpa angka tersebut menjadi petunjuk tentang waktu atau saat sesuai dengan angka yang ditunjukkan saat itu.

Jam Bencet dibuat seperti busur terbalik atau seperti jam dinding yang dibelah dua dan diletakkan dalam posisi terbalik. Jam Bencet tidak diberi pelindung berupa kaca. 

Jam ini umumnya diletakkan di ujung atas dari sebuah tiang beton pada tempat terbuka agar bisa tertimpa sinar matahari secara langsung.

Masjid Syeh Sewu atau Masjid Sabiilurrosyaad juga memiliki sebuah sumur tua di sisi kiri (dekat Jam Bencet dan Watu Gilang). Sumur tua ini di tempat tersebut dikenal sebagai Belik Ki Sejalak. Sumur tua ini memiliki diameter sekitar 170 cm dan kedalamannya sekitar 6 meter.

Kemuncak atau mustaka kuno masjid berbentuk mahkota raja.

Latar Belakang

Masjid ini adalah salah satu bangunan yang merupakan peninggalan Panembahan Bodo atau Raden Trenggono. Jasa Raden Trenggono atau Panembahan Bodo itu bukan hanya dalam urusan mendirikan Masjid Kauman Pijenan. 

Akan tetapi juga dalam membuka Hutan Pawijenan sehingga menjadi pemukiman. Demikian juga dalam membuka Gesikan sehingga sekarang menjadi dusun. Ia juga berjasa dalam mendirikan sebuah masjid di Sedondong atau Kedondong, Kulon Progo. 

Ia juga berjasa dalam mengelola tanah-tanah yang berada di wilayah Mangir setelah kekuasaan Ki Ageng Mangir diakhiri oleh Panembahan Senopati.

Raden Trenggono sendiri merupakan putra dari Adipati Pecat Tanda Terung II. Kakek dari Raden Trenggono adalah Adipati Pecat Tanda Terung I yang memiliki nama kecil Raden Husen (Husain). 

Raden Husen merupakan saudara tiri dari Raden Hasan alias Raden Patah atau Sultan Syah Alam Akbar yang kemudian berkuasa di Demak. 

Jika Raden Hasan berayahkan Prabu Brawijaya Pamungkas, ayah Raden Husen adalah Adipati Arya Damar yang berkuasa di Palembang (Adipati Palembang). Adipati Arya Damar sendiri merupakan putra dari Prabu Brawijaya Pamungkas.

Masjid Kauman Pijenan, Bantul, diperkirakan dibuat pada abad ke-16.

Sejarah Masjid Kauman Pijenan

Arya Damar diberi putri triman oleh ayahnya. Putri tersebut bernama Dewi Dwarawati. Ketika diberikan putri tersebut dalam kondisi hamil muda. Anak dari Dewi Dwarawati dengan Prabu Brawijaya kelak diberi nama Raden Hasan. 

Sedangkan anak dari Dewi Dwarawati dengan Arya Damar kelak diberi nama Raden Husen (Husain). Raden Hasan kelak menjadi raja Demak dengan gelar Sultan Syah Alam Akbar atau populer disebut sebagai Raden Patah (Fatah).

Raden Husen sendiri kelak menjadi adipati di Terung (Jawa Timur) dengan gelar Adipati Arya Pecat Tanda (I). Kelak Arya Pecat Tanda di Terung ini memiliki putra bernama Adipati Arya Pecat Tanda (II). 

Adipati Arya Pecat Tanda II ini kelak memiliki putra yang bernama Raden Trenggono. Raden Trenggono inilah yang kemudian terkenal dengan nama Panembahan Bodo atau Syeh Sewu.

Pada zaman Panembahan Senopati, Raden Trenggono pernah ditempatkan di wilayah yang sekarang dinamakan Dusun atau Kampung Bodon, Kotagede. 

Nama kampung ini menjadi Kampung Bodon karena mengambil nama tokoh yang dianggap pertama kali membuka atau menempati wilayah Bodon, yakni Panembahan Bodo. 

Penempatan Panembahan Bodo ke Bodon ini dimaksudkan agar ia tidak terpengaruh oleh sisa-sisa kekuasaan Mangir yang meliputi sepanjang Aliran Sungai Progo karena wilayah kekuasaan Panembahan Bodo di Pijenan memang relatif dekat dengan wilayah bekas kekuasaan Ki Ageng Mangir.

Raden Trenggono alias Panembahan Bodo ini berguru tidak saja kepada Sunan Kalijaga namun juga kepada Ki Ageng Gribig di Jatinom, Klaten. 

Ia juga memperistri putri dari Ki Ageng Gribig yang bernama Putri Kedupayung. Daripadanya Raden Trenggono memiliki dua orang putra yang bernama Raden Cokrowesi dan Raden Surosekti.

Disebut-sebut bahwa Panembahan Bodo mendirikan masjid di Dusun Kedondong, Kelurahan Kalibawang, Kecamatan Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo. Versi lain menyatakan ia diperntahkan untuk membuat masjid di Dusun Sedondong, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo. 

Hingga sekarang di Kedondong, Kalibawang dikenal adanya masjid kuno yang dinamakan Masjid Sunan Kalijaga. Apakah hal itu berhubungan dengan ketokohan Panembahan Bodo atau tidak, kiranya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.

Tertera di di situ sebagai peninggalan Panembahan Bodo

Nama ”bodo” yang melekat atau dilekatkan pada dirinya karena pada suatu ketika ia mendengar deburan ombak pantai selatan. Ia menduga bahwa itu adalah suara meriam bangsa Portugis yang akan menguasai Jawa. 

Ia pun membuat benteng di pantai selatan. Apa yang dilakukannya dikatakan sebagai kebodohan oleh Sunan Kalijaga. Berdasarkan hal itu maka ia disebut sebagai Panembahan Bodo.

Versi lain lagi menyatakan Raden Trenggono selalu menolak ajakan Sultan Pajang agar bersedia membantu Pajang. 

Ketika menolak ia selalu mengatakan bahwa dirinya adalah wong bodho (orang bodoh) yang tidak mengerti urusan politik dan kekuasaan. Oleh karena itu ia kemudian dijuluki sebagai Panembahan Bodo.

Sumber setempat menyebutkan bahwa Raden Trenggono menjadi murid Sunan Kalijaga dan juga Ki Ageng Gribig di Jatinom, Klaten. Raden Trenggono kemudian menikah dengan salah satu putri Sunan Kalijaga yang kelak dikenal dengan nama Nyai Brintik. 

Dengan Nyai Brintik ini Raden Trenggono atau Panembahan Bodo memiliki dua orang putra yang bernama Raden Nurodi Condro Kusumo dan Raden Gading Condro Kusumo. Versi lain menyebutkan bahwa Nyai Brintik adalah putri dari Raden Santri di Gunung Pring, Muntilan.

Panembahan Bodo juga menikahi salah satu putri dari Ki Ageng Gribig yang bernama Putri Kedupayung. Dengan Putri Kedupayung ini Panembahan Bodo juga memiliki dua orang putra yang bernama Raden Cakrawesi dan Raden Surasekti. 

Kelak Raden Cakrawesi ikut menjadi penyebar agama Islam di wilayah Sedayu, Bantul. Sementara Raden Surasekti mengembangkan agama Islam di wilayah Kedu, Jawa Tengah.

Atas bimbingan dan nasihat dari Panembahan Bodo dan putra-putranya maka Dusun Pijenan kemudian berkembang menjadi pusat santri. Santri-santri ini pada gilirannya banyak yang menjadi kaum, rois atau agamawan. Oleh karena itu pulalah Dusun Pijenan kemudian dikenal pula dengan nama Dusun Kauman Pijenan.

Ada tradisi yang menarik sehubungan dengan Masjid Kauman Pijenan ini berkaitan dengan bulan puasa atau bulan Ramadhan. Tradisi yang dijalankan di Masjid Kauman Pijenan ini salah satunya adalah membagikan takjil berupa bubur dengan sayur tempe. 

Tradisi ini dipercaya berasal dari para wali di masa lalu. Tradisi takjil bubur ini mengandung ajaran atau pesan religius yang cukup dalam.

bubur sering dimaknai sebagai lembut (sesuai tekstur makanan bubur pada umumnya). Pada sisi ini ada ajaran bahwa agama Islam harus disampaikan atau diajarkan dengan lemah lembut sehingga akan mudah diterima oleh masyarakat awam. 

Seperti halnya bubur akan cocok bagi perut orang yang berbuka puasa, karena tidak memberikan efek menyentak atau mengagetkan perut atau usus.

bubur jika dituangkan juga akan segera melebar di permukaan wadahnya. Hal ini sering dimaknai sebagi mbeber. Oleh karena itu masyarakat yang menerima bubur Takjil secara tersirat diberikan ajaran-ajaran agama Islam. 

Oleh karenanya sebelum berbuka puasa diadakan pengajian sebagai wahana untuk menyampaikan ajaran dan syiar agama Islam.

Mata air di halaman masjid yang diberi nama Sendang Si Jalak

Bubur juga berarti babar atau merata. Dalam hal ini terkandung maksud agar ajaran agama Islam disampaikan kepada semua orang tanpa membeda-bedakan kelas sosial atau golongannya. Siapa pun bisa memeluk agama Islam.

Takjil bubur ini juga merupakan contoh bahwa memberi sedekah bagi yang berbuka puasa akan mendapatkan pahala yang sama dengan pahala orang yang menjalani puasa. 

Takjil bubur ini dilaksanakan di Masjid Kauman Pijenan selama sebulan penuh, mulai dari hari pertama bulan ramadhan sampai hari terakhir, kecuali pada tanggal 20 bulan Ramadhan atau sering disebut sebagai malem selikuran. Pada malem selikuran ini secra khusus disajikan Takjil Nasi.

Hal ini dilakukan sebagai pengingat untuk menghadapi sepuluh hari terakhir yang dipandang penuh berkah dan dianggap berbeda dengan hari-hari sebelumnya. 

Demikian keterangan Drs. Hariyadi selaku Sekretaris Takmir Masjid Kauman Pijenan dan sekaligus sebagai Kaur Kesra Desa/Kalurahan Wijirejo serta sebagai Ketua I Pengurus Pasareyan atau Makam Sewu (Panembahan Bodo).

Posting Komentar untuk "Sejarah Masjid Kauman Pijenan"