Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Makna dan Hakikat Berqurban

Makna dan Hakikat Berqurban

Hakikat Berqurban - Pada akhir abad ke-19, kita baru menyadari bahwa manusia dan makhluk hidup lainnya bernapas untuk membantu proses pembakaran makanan guna menghasilkan energi sebagai sumber kekuatan. 

Hal ini ditandai dengan penemuan Prout (tahun 1824) yang menggolongkan nutrisi manusia menjadi tiga macam, yakni Karbohidrat, lemak, dan protein.

Karbohidrat dan lemak menjadi sumber energi utama, sedangkan protein berfungsi sebagai materi penyusun bagi tubuh, saat mengalami kerusakan dan disoperasi faal.

Kemudian penemuan bertambah lagi seiring dengan perjalanan waktu, di mana diketahui bahwa selain tiga nutrisi tersebut, manusia juga memerlukan garam-garaman, mineral, dan vitamin untuk kesehatan dan pertumbuhan mereka. 

Diketahui pula bahwa vitamin yang beraneka ragam jenisnya, terdapat empat jenis vitamin yang hanya dapat larut dengan lemak. Artinya, tubuh tidak dapat menyerap dan menggunakan keempat vitamin tersebut tanpa lemak. Empat vitamin tersebut adalah vitamin A, D, E, dan K.

Lemak dan protein banyak terdapat dalam daging. Seorang faqir miskin yang kesehariannya tidak mengkonsumsi daging, tentu kesehatan dan pertumbuhannya tidak sempurna. 

Hal ini disebabkan salah satu nutrisi pokoknya yaitu lemak tidak terpenuhi. Bahkan beberapa vitamin yang dikonsumsinya, tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuhnya, karena tidak dapat larut dalam tubuhnya akibat ketiadaan lemak.

Lima belas abad yang lalu, Islam telah menyiratkan kebutuhan manusia akan karbohidrat, lamak, dan protein sebagai nutrisi dasar bagi kesehatan. Kebutuhan karbohidrat diungkapkan lewat perintah zakat fitrah, sedangkan kebutuhan lemak dan protein diterangkan lewat perintah berqurban.

Qurban Menghilangkan Sisi Kebinatangan

Manusia sebagai khalifah di bumi, secara naluriah memiliki sifat baik dan buruk dalam dirinya, Allah Ta’ala berfirman, “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan." [QS. 90:10], dan firman-Nya,” Sesungguhnya Kami telah menunjukinya (manusia) jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir” [QS. 76:3]. 

Kedua sifat ini selalu berkaitan dengan akal budi dan nafsu yang dianugerahkan Allah Ta’ala kepadanya, dan kedua potensi alamiah ini juga merupakan dua hal yang membedakan manusia dengan malaikat atau binatang.

Sebagai makhluk yang berakal dan berbudi tanpa disertai nafsu, malaikat sering diidentikkan dengan ketaatan dan peribadatan. 

Tentu saja hal ini tidak aneh, mengingat akal budi dapat menjelaskan dan membedakan hal-hal dan perbuatan yang baik atau yang buruk, untuk kemudian mengajaknya melakukan hal atau perbuatan yang baik dan meninggalkan hal atau perbuatan yang buruk. 

Ketiadaan nafsu pada diri mereka secara otomatis meniadakan gangguan dan cobaan dalam melakukan ketaatan dan peribadatan kepada Allah Ta’ala.

Keadaan yang sebaliknya terdapat pada binatang. Ketiadaan akal budi menyebabkannya tidak mampu mengenali dan membedakan hal atau perbuatan yang baik atau yang buruk, sehingga dalam menunaikan dan menyalurkan nafsu yang dimilikinya, seringkali mereka berbuat kesalahan dan tidak terarah.

Potensi akal budi dan nafsu yang dimiliki manusia, meletakkannya di persimpangan, apabila akal budi mampu mengendalikan dan mengarahkan nafsu hingga ia mampu melakukan ketaatan dan menunaikan hasrat nafsunya dengan baik dan benar, maka manusia dengan sendirinya mampu menyamai atau mungkin melebihi keluhuran derajat malaikat. 

Sebaliknya apabila nafsu yang justru mengendalikan dan mendominasi dalam dirinya, hingga akal budi tidak mampu mengarahkan nafsu dalam menuaikan dan menyalurkan hasratnya, maka amatlah mungkin ia terjerumus dalam kenistaan dan kehinaan yang lebih rendah dari pada binatang.

Ibadah qurban yang berbentuk penyembelihan binatang ternak, selain sebagai ibadah dan wujud ketaatan terhadap Allah Ta’ala, seringkali dijadikan simbol permohonan (tafaulan) agar kiranya Allah Ta’ala berkenan “menyembelih” dan menghilangkan sisi-sisi serta kecenderungan kebinatangan dari diri manusia yang dapat merugikan dan membahayakannya. 

Nafsu-nafsu tersebut bisa merupakan nafsu serakah, sikap culas, nafsu hedonis, nafsu menghamba, nafsu egois, dan nafsu lainnya.

Semangat Berqurban

Qurban adalah penyembelihan hewan tertentu, yaitu unta, sapi/kerbau, dan kambing, pada hari ‘Idul Adha (tanggal 10 Dzilhijjah) dan tiga hari Tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13 Dzilhijjah) dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

Pengertian di atas setidaknya mengandung tiga kriteria ibadah qurban, antara lain:

Pertama, penyembalihan hewan. Tidak semua hewan dapat disembelih untuk ibadah qurban, hanya unta, sapi/kerbau, dan kambing saja yang sah dijadikan hewan qurban. 

Para ulama menerangkan bahwa seekor kambing cukup untuk menjadi qurban bagi satu orang saja. Dalam hal ini Imam Ahmad meriwayatkan hadis (II/no. hadis 254) dari shahabat Abi Hurairah, bahwa beliau mendengar nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Alangkah baiknya menjadikan seekor kambing sebagai sembelihan qurban”

Adapun unta dan sapi/kerbau, maka keduanya cukup menjadi qurban bagi tujuh orang, hal ini berdasarkan pada keterangan yang terdapat dalam hadis riwayat Imam Muslim (no. hadis 1318) dari shahabat Jabir, beliau berkata,”Pada tahun terjadinya Perjanjian Hudaibiyah, kami menyembelih hewan qurban seekor unta (sebagai qurban) bagi tujuh orang, dan seekor sapi (juga) untuk tujuh orang”

Pembatasan penyembelihan qurban pada tiga jenis hewan tersebut, yaitu unta, sapi/kerbau, dan kambing, lebih disebabkan karena hewan-hewan tersebut merupakan komoditas ternak yang banyak dibudidayakan hingga dapat dengan mudah diperoleh dan tidak dikhawatirkan akan kepunahannya.

Kedua, waktu penyembelihan hewan qurban harus dilaksanakan setelah shalat ‘Idul Adha atau waktu di mana matahari telah terbit dan telah terlewat waktu yang sekiranya cukup untuk melaksanakan shalat "Ied, hal ini berlaku pada orang yang tidak melaksanakan shalat "Ied hingga terbenamnya matahari hari Tasyriq terakhir (tanggal 13 Dzilhijjah). 

Ini seperti keterangan yang terdapat pada hadis riwayat Imam Bukhari (no. hadis 5225) dan Imam Muslim (no. hadis 1961), dari shahabat Barra’ bin ‘Azib, sesungguhnya Rasulullah bersabda,”Sesungguhnya kegiatan yang pertama yang kita lakukan pada hari ini (’Idul Adha) adalah shalat (maksudnya shalat sunnat ‘Idul Adha).

Setelah itu kita pulang dan melakukan penyembelihan qurban. Siapa saja yang berbuat seperti ini, maka ia telah menepati sunnah kita, dan siapa saja yang menyembelih sebelumnya (sebelum shalat ‘Id), maka sembelihannya itu hanyalah daging yang diperuntukkan untuk keluarganya, sedang ia tidak memiliki nilai ibadah sama sekali”. 

Imam Ibn Hibban meriwayatkan hadis (no. hadis 1008) dari shahabat Jabir bin Muth’im bahwa Rasulullah bersabda,”Seluruh hari Taysriq merupakan waktu penyembelihan qurban”.

Ketiga, adanya orientasi penyembelihan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, sehingga penyembelihan hewan qurban yang dilakukan dengan orientasi selain-Nya, riya atau pamer dan ingin dipuji misalnya, maka walaupun secara zahir ia telah melaksanakan penyembelihan qurban, tetapi pada hakikatnya ia tidak melakukannya.

Perintah berqurban terdapat dalam ayat, ”Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah” [QS. 108: 2]. 

Perintah ini ditujukan kepada Nabi sebagai sebuah kewajiban, dan ditujukan kepada umatnya sebagai sebuah anjuran (sunnah).maksud anjuran di sini adalah, kalaupun seseorang yang telah mampu untuk melaksanakan penyembelihan qurban, namun ia tidak melaksanakan penyembelihan tersebut, maka ia tidak terkena sanksi berupa dosa kecuali hanya berupa celaan dan sanksi moral, baik dari agama maupun dari masyarakat.

Rasulullah bersabda,”Siapa saja yang memiliki kelapangan rejeki tetapi tidak melakukan penyembelihan qurban, maka jangan sekali-kali ia mendekati tempat shalat kami” (HR. Ahmad no. hadis 7924, dan Ibn Majah no. hadis 3114)

Hakikat Berqurban

Daging qurban sampai kepada faqir miskin dan darahnya tumpah ke tanah, tidak ada manfaat sedikit pun yang diterima Allah Ta’ala, kecuali nilai ketaqwaan dan keikhlasan dari orang yang melaksanakan ibadah qurban, dan inilah substansi makna qurban yang sebenarnya.

Kemudian arti qurban itu sendiri, yang menurut sisi etimologisnya memiliki arti dekat atau pendekatan, dalam makna umum, ia dapat dipahami sebagai perkataan, perbuatan dan segala aktivitas jiwa yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala serta upaya untuk mendapatkan keridhaan-Nya. 

Sudah menjadi kecenderungan manusia dalam rutinitas sehari-hari melupakan Agama, karena itu diperlukan pranata pendekatan yang antara lain melalui qurban.

Selama ini banyak orang memahami perintah dalam ajaran Islam lebih kepada bentuk dan simbol, padahal pemahaman akan substansi perintah tersebut merupakan hal yang terpenting. 

Ibadah qurban misalnya, dianggap hanya sebagai ritual penyembelihan hewan, tanpa mencoba menggali nilai dan semangat serta substansi yang dikandungnya, hingga banyak kita lihat orang yang melaksanakan shalat, menyembelih qurban, tetapi korupsinya tidak berhenti, egoisme dan sikap acuh tak acuhnya tidak di’sembelih’.

Dari sini seharusnya kita menumbuhkan kesadaran bahwa pendekatan kepada Allah Ta’ala tidak semata lewat ibadah ritual yang bersifat individual, tetapi kesadaran akan tanggung jawab sosial dan rasa solidaritas terhadap sesama, adalah juga upaya pendekatan kepada-Nya. 

Terlebih ketika kita meyakini bahwa Allah Ta’ala Maha Kuasa dan Maha Sempurna, dan Ia tidak membutuhkan apapun dari kita, tanpa ibadah dari kita, Ia akan tetap Maha Sempurna dan Maha Kuasa, dan sesungguhnya amal ibadah manusia hanya akan kembali kepada manusia yang melakukannya.

Qurban adalah tali penyambung hati antara mereka yang memiliki kelapangan rezeki dengan hati para faqir miskin. Sekerat daging yang mungkin tidak bernilai apa-apa bagi sebagian orang, mungkin akan begitu bernilai bagi banyak orang.

Maka dalam bingkai substansi, ibadah qurban kita pahami bahwa berbuat baik kepada saudara atau tetangga, senantiasa membantu sesama dan meringankan penderitaan mereka saat tertimpa musibah.

Dan bagi mereka yang menjadi pemimpin, pada saat ia mampu memberikan pengayoman dan menempatkan rakyat dalam prioritas kepentingan di atas kepentingan pribadi dan golongannya.

Dia mampu menahan diri dari perkataan dan perbuatan yang berakibat buruk bagi kehidupan bermasyarakat, menegakkan keadilan dan kebenaran serta upaya lain yang mengacu pada ajaran Agama, baik yang bertalian dengan Tuhan, maupun yang berupa interaksi sosial kemasyarakatan, kesemuanya ini kalau diniatkan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dan mencari ridha-Nya, maka sungguh-sungguh ia telah ‘BERQURBAN‘.

referensi : http://andiwowo.blogspot.com

Posting Komentar untuk " Makna dan Hakikat Berqurban"