Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Moeslim Abdurrahman, Cendekiawan Muhammadiyah Penggagas Islam Transformatif

Moeslim Abdurrahman, Cendekiawan Muhammadiyah Penggagas Islam Transformatif

Moeslim Abdurrahman, cendekiawan muda Muhammadiyah, menggulirkan gagasan ‘Islam Transformatif’. Belum sempat melakukannya secara intens, Moeslim Abdurrahman sudah meninggal dunia belum lama ini. 

Untuk mengengang pemikirannya, anak-anak muda Muhammadiyah, salah satunya dimotori oleh Lembaga Studi Islam dan Politik (LSIP), menyelenggarakan satu diskusi, yang diselenggarakan di ruang diskusi PP. Muhammadiyah, Rabu (8/8) lalu, dengan menghadirkan pembicara, Prof. Dawam Rahardjo, Rektor Universitas Proklamasi 45, Dr. Zuly Qodir, direktur LSIP, Hairus Salim (LKIS), Zakiyuddin Baidhawy, Staf Pendidik STAIN, Salatiga, dan Dimas Oky Nugroho, direktur Eksekutif Sukarelewan untuk Perubahan

Menurut Dawam Rahardjo, gagasan Islam Transformatif Moeslim Abdurrahman sebenarnya merupakan wujud pandangan materialisme, dialektika dan logika yang bersumber dari ajaran Islam. Masalahnya adalah siapa yang mampu mengembangkan pemikiran Islam transformatif itu. 

Buku Islam transformatif Moeslim Abdurrahman sendiri bukanlah wacana pemikiran mengenai gagasan itu, melainkan baru merupakan gagasan yang dianjurkan atau gagasan awal. Tapi para cendekiawan Muslim belum mampu merealisasikan gagasan itu karena belum ada rumusan epistemologinya.

“Gagasan Islam Transformatif mungkin bisa menjadi ciri khusus ‘Islam Indonesia’, sebagai alternatif dari gerakan politik Islam. Dalam gagasan ‘Islam Indonesia terkandung beberapa gagasan mengenai ciri Islam Indonesai, misalnya moderat, toleransi dan pluralisme, demokrasi yang berkeadaban atau bercorak kultural. 

Islam transformatif adalah gagasan tersendiri yang mungkin bisa menjadi ciri Indonesia, karena gagasan Islam Transformatif berkembang dalam kerangka Filsafat Nusantara yang didalamnya terkandung filsafat “Islam Nusantara’, yaitu pemikiran Islam yang berkembang dalam proses pergulatan dan dialog antar budaya dan keyakinan” kata Dawam Rahardjo.

Para pembicara lain, yang semuanya masih mudah dan merupakan ‘murid’ dan sahabat Muslin Abdurrahman, semuanya melihat pentingnya komitemen Moeslin Abdurrahman terhadap orang-orang kecil dan perlu untuk diteruskan, Ia, Moeslim Abdurrahman memilih berpihak pada orang-orang kecil, yang tidak berdaya, yang doleh anak-anak muda Muhammdiyah dianggapnya sebagai gagasan orisinil ialah apa yang disebutnya sebagai ‘teologi kalibokong’.

“Bukan hanya pada kaum muda, pemihakannya pada kelas kere, ketimbang kelas menengah ditunjukkan pula oleh Kang Moeslim. 

Gagasan orisinil tentang Teologi Kalibokong, yang sempat dipopolerkan pada tahun 1990-an untuk memberikan kisah tentang terjadinya ketidakadilan yang terjadi di tanah air atas kelas tertentu pada kaum kere membawanya untuk menjadikan kaum kere sebagai pijakan beramal saleh. 

Kaum kere jangan mudah dihakimi perilaku kesalehannya yang tampak oleh kelas menengah muslim dan kaum santri tulen dianggap tidak saleh alias kurang santri karena tidak rajin mendengarkan pengajian-pengajian kiai, ustadz, pak haji dan bu hajah di tengah kompleks perumahan atau di tengah masjid pasar. 

Kaum kere, buat Moeslim Abdurrahman bukan entitas yang harus dihakimi kafir, sesat, sinkretik dan seterusnya, tetapi harus dipersoalkan mengapa mereka demikian kondisinya” ujar Zuli Qodir.

Kaum muda Muhammadiyah, yang memiliki aktivitas sosial dan keilmuan, merasa beruntung pernah bertemu dan berkenalan serta berdialog dengan Moeslim Abdurrahman, setidaknya seperti Dimas Oky Nugroho, Zuli Qodir dan kaum muda seangkatannya. 

Bagi mereka, semangat keilmuan dan keberpihakan Moeslim Abdurrahman terhadap orang kecil, terus menyala dalam sanubari mereka, dan mungkin memberi inspirasi tiada henti.

Kini Moeslim Abdurrahman telah tiada, dan mereka mengenangkan serta tidak melupakan apa yang dia pikirkan.

Posting Komentar untuk "Moeslim Abdurrahman, Cendekiawan Muhammadiyah Penggagas Islam Transformatif"