Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Apa Itu Riba, Jual - Beli Dan Sedekah Dalam Agama Islam?

Apa Itu Riba, Jual - Beli Dan Sedekah Dalam Agama Islam?
credit:freepik.com

Apa Itu Riba, Jual - Beli Dan Sedekah Dalam Agama Islam? Ada tiga macam jalan untuk memutar roda perekonomian menurut agama Islam, dimana cara yang satu dilarang sedangkan dua cara lainnya dihalalkan, diberkahi, disuburkan dan dilipat gandakan pahalanya.

Namu ironinya adalah, bahwa dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, justru jalan yang dilarang oleh agama Islam tersebutlah yang justru tumbuh dengan sangat pesat, sedangkan dua jalan yang lain terpuruk oleh jalan yang pertama. 

Jalan yang dilarang oleh agama Islam tersebut adalah jalan riba, sedangkan dua jalan lainnya adalah jalan jual-beli dan sedekah. Untuk menghambat laju pertumbuhan riba tersebut, maka tidak ada jalan lain bagi umat Islam kecuali dengan cara menguatkan jalan jual-beli dan sedekah.

Dilarangnya riba menurut agama Ilsam sudah bukan lagi sekedar wacana, karena Al-Qur’an dengan sangat tegas bahwa jalan riba adalah haram hukumnya .

Allah SWT telah berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat ke 276, sebagai berikut:

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ

Artinya:

"Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa." [QS. Al-Baqarah:276]

Dari ayat tersebut, sudah sangat jelas di nyatakan bahwa Allah SWT akan memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.

Praktek - Praktek Riba Di Zaman Modern

Praktek-praktek yang dikategorikan sebagai riba di zaman modern ini juga sudah di putuskan tanpa adanya perdebatan lagi oleh Fatwa Dewan Syariah Nasional – MUI no. 1 tahun 2004. Semua produk yang mengandung bunga perbankan konvensional, asuransi dan koperasi termasuk dalam kategori ini berdasarkan fatwa MUI tersebut.

Tetapi realitasnya, mengapa justru produk-produk riba tersebut justru terus berkembang pesat bahkan semakin merajalela dan sulit dikendalikan? Hal itu disebabkan karena dia ditumbuh-suburkan oleh ekosistem keuangan yang memang menunjangnya. 

Dari pihak eksekutif (Pemerintah) dan legislatif (DPR) di negeri ini telah menghadirkan berbagai kebijakan produk keuangan yang menunjang tumbuh suburnya praktek riba ini, misalnya ada undang-undang penjaminan simpanan, undang-undang BPJS dan sebagainya.

Di sisi yang lain, yakni dari pihak masyarakat, baik pelaku bisnis dan usaha maupun sebagai konsumen juga masih enggan untuk melakukan "innovative disruption" untuk keluar dari kungkungan produk riba ini. 

Jalan Jual Beli

Pasar Tradisional
credit:instagram@yazidfzn

Jalan kedua adalah jalan yang secara jelas dihalalkan oleh Allah SWT yaitu jual-beli atau perdagangan. Jalan ini sekarang sudah mulai menggeliat dan berusaha untuk bangkit karena didorong dengan tumbuh suburnya perdagangan online (Ecommerce). 

Sebelum marketplace berbasis internet tersebut tumbuh dengan pesat, Anda harus menyewa kios yang mahal untuk berdagang di pusat-pusat perdagangan untuk bisa berjualan produk Anda. Akibatnya dunia perdagangan dikuasai oleh segelintir orang yang mampu menyewa tempat berjualan saja.

Dengan menjamurnya berbagai marketplace tersebut, kini Anda tidak perlu lagi menyewa kios yang mahal untuk berjualan produk Anda. Kini Anda bisa berjualan apa saja, mulai dari es cendol sampai dengan komponen elektronik berteknologi tinggi seperti komponen-komponen IoT (Internet of Things) di marketplace secara gratis.

Tetapi dengan mengandalkan pertumbuhan pasar ecommerce ini saja belumlah cukup untuk melawan praktik riba. Ketika akses capital (permodalan) masih dikelola dengan sistem riba, maka pada ujungnya penguasa pasar tetap di dominasi oleh segelintir orang - orang  itu saja.

Kepemilikan start up marketplace-marketplace raksasa tetap di dominasi oleh para pemilik modal raksasa yang notabene juga pengelola praktik riba. Hukum rimba di marketplace yang nyaris tanpa ada "entry barrier" telah mendorong persaingan yang tidak sehat antara para pengelola marketplace tersebut.

Mereka tidak segan-segan untuk "Membakar uang" dalam jumlah yang tidak terbayangkan untuk meningkatkan pangsa pasar Market placenya masing-masing. Mereka saling berusaha menjadi pemenang tunggal dan tidak mau menjadi yang kedua, letiga dan seterusnya, sehingga di dunia marketplace ini berlaku istillah "the winner take it all" yang artinya pemenangnya akan mengambil semuanya. 

Sementara kita sebagai masyarakat masih bisa menikmati persaingan antar raksasa marketplace ini, kita masih bisa naik ojek dan taksi yang tersubsidi oleh mereka, perdagangan yang ongkos kirimnya dibayari mereka dan sebagainya. Kita tidak menyadari apa akibat yang akan kita terima nantinya. 

Selain praktik riba, ada larangan untuk melakukan monopoli atau oligopoli, kartel, larangan persaingan tidak sehat dan sebagainya. Ingat bangsa Tsamud , yakni kaumnya Nabi Saleh Alaihi Salam. Tidakkah kita mempelajari apa kesalahan mereka sehingga dihancuran oleh Allah SWT? karena ada sembilan orang (oligopoli) yang berbuat kerusakan di muka bumi.

Firman Allah SWT dalam surah An-Naml ayat ke 48:

وَكَانَ فِي الْمَدِينَةِ تِسْعَةُ رَهْطٍ يُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ وَلَا يُصْلِحُونَ

Artinya:

"Dan adalah di kota itu sembilan orang laki-laki yang membuat kerusakan di muka bumi, dan mereka tidak berbuat kebaikan." [QS. An-Naml:48]

Di sebutkan bahwa ketika sembilan orang tersebut menguasai segala akses perekonomian dan melarang unta Nabi Saleh untuk ikut mendapatkan air minum, maka saat itulah Allah SWT menghancurkan leburkan bangsa itu. Bukankah perilaku ekonomi dan pasar kita sekarang juga demikian? Mereka yang sudah besar ingin semakin besar dan berusaha untuk menyingkirkan yang kecil supaya keluar dari pasar tersebut.

Jalan Sedekah

Sedekah jariyah
credit:instagram@yatimmandiri_jaksel

Kemudian, satu jalan lain yang harus kita dorong sekuat tenaga untuk terus tumbuh adalah jalan sedekah. Mengapa demikian? Karena ada banyak sekali kebutuhan kita yang tidak bisa secara optimal dipenuhi hanya melalui jalan jual beli komersial, dan harus melalui jalan jual-beli dengan Allah SWT yakni dengan cara bersedekah.

Urusan pendidikan, urusan mengatasi musibah dan bencana, urusan kesehatan dan sebagainya tentunya tidak bisa diatasi dengan jalan jual beli. Kalau untuk menerima layanan kesehatan Anda harus membayar, kemudian bagaimana dengan orang miskin yang tidak bisa untuk membayarnya. Jika untuk memperoleh pendidikan formal harus membayar, lalu kemudian bagaimana dengan orang miskin untuk dapat meningkatkan taraf hidupnya?

Apalagi untuk mengatasi musibah seperti bencana alam, musibah kemanusiaan seperti yang dialami oleh saudara-sudara kita di Rohingya, Myanmar dan sebagainya.

Namun demikian, sedekah ini juga tidak akan optimal kalau aktivitas perdagangan kita terganggu, apa yang dapat kita sedekahkan kepada saudara - saudara muslim kita di Rohingnya misalnya, kalau kita sendiri tidak memiliki apa-apa?

Kita tidak akan bisa optimal dalam bersedekah bila kita sendiri membutuhkan sedekah, tetapi kekayaan kita juga tidak akan ada artinya bila sebagian harta tersebut tidak kita sedekahkan. Karena hanya ada tiga hal yang kelak bisa kita bawa mati, yakni Anak saleh yang mendoakan orang tuanya, ilmu yang bermanfaat dan sedekah jariyah.

Maka sedekah jariyah atau wakaf dimasa lampau telah menjadi kekuatan ekonomi yang luar biasa, karena saat itu umat Islam sadar bahwa harta terbaik mereka adalah harta yang bisa dibawa mati yaitu harta yang disedekahkan atau diwakafkan.

Dengan wakaflah seluruh infrastruktur pendidikan terbaik bisa diakses oleh orang miskin maupun orang kaya. Dengan wakaf pula seharusnya rumah sakit dan layanan-layanan kesehatan, dan layanan sosial masyarakat lainnya dibangun.

Yang kita saksikan sekarang adalah kebalikannya, dimana biaya sekolah menjadi sangat mahal, rumah sakit juga mahal. Itu semua karena sektor-sektor yang seharusnya dikelola dengan sedekah ini, kini diperdagangkan dengan dukungan modal ribawi.

Di era ketika pertumbuhan ekonomi dunia didominasi oleh "disruptive innovation," tidak ada hegemoni ekonomi yang bebas dari ini, "disrupt or be disrupted," maka terhadap sistem ekonomi kapitalisme ribawi-pun waktunya untuk bisa di-disrupted.

Allah SWT telah berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 261, sebagai berikut:

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Artinya:

"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. [QS.Al-Baqarah:261]

Kemudian surah Al-Baqarah ayat ke 265, sebagai berikut:

وَمَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ وَتَثْبِيتًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٌ فَآتَتْ أُكُلَهَا ضِعْفَيْنِ فَإِنْ لَمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Artinya:

Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat. [QS.Al-Baqarah:265]

Janji Allah adalah pasti kebenarnya, yang belum pasti adalah apakah kita berhak atas janji tersebut. Karena janji ini bersyarat, yakni bila kita memulai dengan sesuatu. Bila kita tidak mulai menanam, apa yang disuburkanNya? Bila angka kita nol maka dilipat gandakan berapapun akan tetap nol alias kosong.

Jadi, marilah kita perbanyak sedekah dan amal jariyah agar nilai pahala kita dilipatgandakan oleh Allah SWT.

Posting Komentar untuk "Apa Itu Riba, Jual - Beli Dan Sedekah Dalam Agama Islam?"