Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengertian Wakaf Dan Hukumnya Menurut Islam

Pengertian Wakaf Dan Hukumnya Menurut Islam


PENGERTIAN WAKAF

Wakaf adalah salah satu bentuk dari Sedekah Jariyah, yaitu menyedekahkan sebagian harta kita untuk kepentingan umat. 

Harta yang telah di wakafkan tidak boleh berkurang nilainya, tidak boleh diperjual belikan dan tidak boleh diwariskan. Mengapa? Karena wakaf pada hakikatnya adalah menyerahkan kepemilikan harta manusia menjadi milik Allah SWT atas nama umat.

Jika di tinjau dari asal katanya, kata wakaf adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Arab, yaitu "Waqf' yang bermakna "al-Habs". Kata tersebut adalah kata bahasa Arab yang memiliki bentuk masdar (kalau dalam bahasa inggris di sebut infinitive noun) yang maknanya adalah menahan, berhenti, atau diam. 

Menurut Ibnu Manzhur, apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta, misalnya tanah, binatang dan sebagainya, maka itu bermakna pembekuan hak milik untuk faedah tertentu.

Sedangkan pengertian wakaf menurut syariat agama Islam adalah penahanan hak milik atas materi benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-manfa‘ah). Para alim ulama sendiri memiliki opandangan dan pendapat yang berbeda - beda terkait dengan pengertian wakaf tersebut. Hal tersebut dapat kita lihat dari buku - buku karangan mereka yang memuat tentang masalah wakaf ini. 

Perbedaan pendapat tersebut tentunya akan membawa akibat yang berbeda pula pada konsekuensi hukum yang ditimbulkan.

Berikut ini adalah beberapa definisi wakaf menurut para ahli fiqih, antara lain:

1. Menurut Mazhab Hanafi

Menurut Mazhab Hanafi, wakaf adalah menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan (dikutip dari Ibnu al-Humam: 6/203). 

Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahwa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Artinya, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, dan bukan termasuk aset hartanya.

2. Menurut Mazhab Maliki

Sedangkan mazhab Maliki berpendapat, bahwa wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif ( dikutip dari al-Dasuqi: 2/187). 

Dengan demikian maka definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.

3. Menurut Mazhab Syafi'i

Kalangan yang menganut mazhab Syafi'i mengartikan bahwa wakaf adalah menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah (di kutip dari al-Syarbini: 2/376). 

Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus berbentuk harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain), artinya harta yang di wakafkan tersebut adalah yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara terus menerus.

4. Menurut Mazhab Hambali

Sementara kalangan yang menganut mazhab Hambali mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yakni menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (di kutip dari Ibnu Qudamah: 6/185). 

Itulah beberapa pendapat para ulama ahli fiqih terkait dengan definisi dan pengertian wakaf. 

Pengertian Wakaf Menurut Undang - Undang

Dalam Undang-Undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan sebagai perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

Dari semua definisi tentang wakaf tersebut di atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwasannya wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan syariah Islam. 

Hal tersebut sesuai dan sejalan dengan fungsi wakaf yang disebutkan pada pasal 5 UU no. 41 tahun 2004, yang menyatakan bahwa wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.

Dasar Hukum Wakaf Dalam Al Quran Dan Hadits

Di antara hadits yang menjadi dasar atau dalil wakaf adalah hadits yang menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab ketika memperoleh tanah di Khaibar. Setelah ia meminta petunjuk kepada Nabi SAW tentang tanah tersebut, maka Nabi SAW menganjurkan untuk menahan asal tanah dan menyedekahkan hasilnya.

Kejadiannya adalah Umar bin Khattab memperoleh tanah di Khaibar, lalu dia bertanya kepada Nabi SAW dengan berkata,  "Wahai Rasulullah, saya telah memperoleh tanah di Khaibar yang nilainya tinggi dan tidak pernah saya peroleh yang lebih tinggi nilainya dari padanya. Apa yang baginda perintahkan kepada saya untuk melakukannya?"

Rasulullah SAW kemudian bersabda, "Kalau kamu mau, tahan sumbernya dan sedekahkan manfaat atau faedahnya." Maka kemudian Umar bin Khattab pun menyedekahkannya, dan tanah tersebut tidak boleh dijual, diberikan, atau diwariskan.

Sahabat Umar bin Khattab lalu menyedekahkannya kepada fakir miskin, untuk keluarga, untuk memerdekakan budak, untuk orang yang berperang di jalan Allah, orang musafir dan para tamu. Bagaimanapun tanah tersebut boleh digunakan dengan cara yang sesuai menurut syariat Islam oleh pihak yang mengurusnya, seperti memakan atau memberi makan kawan tanpa menjadikannya sebagai sumber pendapatan.

Dalam sebuah hadits yang lain yang di riwayatkan oleh sahabat Imam Muslim dari Abu Hurairah, yang menyatakan:

"Apabila seorang manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya, dan anak shaleh yang mendo'akannya."

Dasar Hukum Wakaf Di Indonesia

Menurut dasar hukum positif yang ada di Indonesia, yaitu Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 41 tahun 2004.

SYARAT - SYARAT ORANG YANG BERWAKAF (AL-WAKIF)

Adapun syarat-syarat orang yang berwakaf atau al-waqif ada empat yaitu:
  • Orang yang berwakaf adalah orang yang memiliki secara penuh harta yang akan di wakafkan, artinya dia merdeka untuk mewakafkan harta tersebut kepada siapa saja yang ia kehendaki.
  • Orang yang berwakaf adalah orang yang berakal, tidak sah wakafnya orang yang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk.
  • Orang yang berwakaf adalah orang yang sudah baligh.
  • Orang yang berwakaf adalah orang yang mampu bertindak secara hukum (rasyid). Implikasinya adalah orang yang bodoh, atau orang yang sedang muflis dan orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya.
SYARAT - SYARAT HARTA YANG DI WAKAFKAN (AL-MAUQUF)

Harta yang diwakafkan tersebut tidak sah jika dipindah kepemilikannya, kecuali telah memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan, antara lain:
  • Barang yang diwakafkan adalah barang yang berharga.
  • Harta yang diwakafkan harus diketahui kadarnya. Jadi apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah,
  • Harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif).
  • Harta yang di wakafkan itu adalah harta yang berdiri sendiri, artinya tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).
SYARAT - SYARAT ORANG YANG BOLEH MENERIMA MANFAAT WAKAF

orang yang boleh menerima wakaf ini ada dua macam, yaitu:
  • Tertentu (mu’ayyan), Yang dimasudkan dengan tertentu ialah, jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu tidak boleh dirubah.
  • Tidak tertentu (ghaira mu’ayyan), maksudnya tempat berwakaf itu tidak ditentukan secara terperinci, misalnya untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dan sebagainya. 
Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) adalah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik), maka orang muslim, merdeka dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba sahaya, dan orang gila tidak sah untuk menerima wakaf.

Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira mu’ayyan adalah bahwa yang akan menerima wakaf itu adalah orang yang dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dan wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan agama Islam saja.

Syarat-syarat Shigah, berkaitan dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa syarat: 
  • Ucapan itu harus mengandung kata-kata yang menunjukan kekalnya (ta’bid). Tidak sah wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu. 
  • Ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada syarat tertentu. 
  • Ucapan itu bersifat pasti. 
  • Ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan. 
Jika semua persyaratan diatas dapat terpenuhi, maka penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik kepemilikan harta tersebut karena telah berpindah kepada Allah SWT dan penguasaan harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf secara umum dan dia dianggap sebagai pemiliknya tapi bersifat ghairatammah.

KEISTIMEWAAN DAN KEUTAMAAN WAKAF 

Wakaf adalah salah satu amalan ibadah yang termasuk istimewa, hal ini karena pahala waqaf akan secara terus menerus mengalir walaupun kita telah meninggal dunia. Berbeda dengan amalan-amalan seperti shalat, zakat, puasa, Haji dan sebagainya yang pahalanya akan terputus ketika kita telah meninggal dunia. 

Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW, yaitu:

"Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya, kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang selalu mendoakannya."[HR. muslim, Imam Abu Dawud, dan Nasa’iy].

Dan menurut pendapat dari jumhur ulama, wakaf sendiri merupakan salah satu bentuk dari sedekah jariyah tersebut.

Pahala dari wakaf itu sendiri bisa diatasnamakan untuk orang lain. Dari sahabat Fadhl datang kepada Rasulullah SAW dan bertanya, "Ibuku meninggal dunia dan aku bermaksud ingin melakukan amal kebaikan baginya, apakah pahalanya akan bermanfaat buat ibuku?" Rasulullah SAW kemudian menjawab, "Buatlah sumur umum dan niatkan pahalanya kepada ibumu."

HIKMAH DAN MANFAAT WAKAF

Wakaf  memiliki banyak hikmah dan manfaat baik untuk yang mewakafkan atau untuk pengguna wakaf  tersebut. 

Berikut ini adalah 4 hikmah dan manfaat wakaf, antara lain:
  • Menghilangkan sifat tamak dan kikir manusia atas harta yang dimilikinya.
  • Menanamkan kesadaran bahwa di dalam setiap harta benda itu meski telah menjadi milik seseorang secara sah, tetapi masih ada di dalamnya harta agama yang mesti diserahkan sebagaimana halnya juga zakat.
  • Menyadarkan seseorang bahwa kehidupan di akhirat memerlukan persiapan yang cukup. Maka persiapan bekal itu diantaranya adalah harta yang diwakafkan
  • Dapat menopang dan mengerakkan kehidupan sosial kemasyarakatan umat islam, baik aspek ekonomi, pendidikan, sosial budaya dan lainnya.
MANFAAT WAKAF

Beberapa jenis manfaat wakaf baik bagi wakif dan pengguna wakaf adalah sebagai berikut:
  • Pahala yang trus menerus mengalir selama benda yang diwakafkan masih dimanfaatkan walaupun si wakif tersebut sudah meninggal dunia.
  • Terus-menerusnya manfaat dalam berbagai jenis kebaikan dan tidak terputus dengan sebab berpindahnya kepemilikan.
Demikianlah uraian artikel tentang Pengertian Wakaf Dan Hukumnya Menurut Islam. Semoga bermanfaat dan berguna untuk Anda.

Posting Komentar untuk "Pengertian Wakaf Dan Hukumnya Menurut Islam"