Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Memahami Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Islam


Memahami Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Islam

Selain sumber hukum utama dalam agama Islam yaitu Al-Quran dan sumber hukum kedua yaitu Hadits Rasulullah SAW, masih ada satu lagi sumber hukum dalam agama Islam yang lain yaitu Ijtihad.

Apakah Ijtihad itu? Bagimana Ijtihad dapat menjadi sumber hukum dalam agama Islam? Simak urainnya dalam artikel berikut ini.

PENGERTIAN IJTIHAD

Dari segi bahasa, kata ijtihad berasal bahasa Arab yaitu "ijtahada-yajtahidu-ijtihadan" yang memiliki arti mengerahkan segala kemampuan, bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga, atau bekerja secara secara maksimal.

Sedangkan menurut istilah, kata ijtihād memiliki arti mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara sungguh-sungguh dalam menetapkan suatu hukum. Orang yang melakukan perbuatan ijtihad disebut sebagai Mujtahid. 

SYARAT - SYARAT BERIJTIHAD

Karena ijtihad nerupakan hasil dari pemikiran daru para ulama, maka hasilnya akan sangat bergantung kepada keilmuan para Mujtahidnya, dan hasilnya bisa jadi berbeda antara satu ulama dengan ulama lainnya. Oleh karena itu perlu di pahami bahwa tidak ada satu orang ulamapun yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan sebuah ketetapan hukum yang tepat.

Berikut ini adalah syarat-syarat bagi orang yang melakukan ijtihad, antara lain:
  • Memiliki Keilmuan, pengetahuan yang luas dan mendalam.
  • Memiliki pemahaman mendalam tentang kaidah bahasa Arab, kaidah ilmu tafsir, kaidah ushul fikih, dan kaidah tarikh (sejarah).
  • Memahami cara  atau metode dalam merumuskan hukum (istinbat).
  • Memiliki akhlak yang mulia.

KEDUDUKAN IJTIHAD

Seperti yang sudah saya katakan diawal artikel ini, bahwa Ijtihad memiliki kedudukan sebagai sumber hukum Islam ketiga setelah Al-Qur’an dan Hadits. Ijtihad dilakukan apabila ada suatu persoalan yang tidak ditemukan hukumnya baik dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Walaupun demikian, hukum yang dihasilkan dari proses ijtihad tersebut harus memenuhi persyaratan mutlak yaitu tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur'an ataupun hadits Rasulullah SAW.

Raulullah SAW bersabda dalam sebuah haditsnya yang diriwayatkan oleh Darami, sebagai berikut :


Artinya:
Artinya: "Dari Mu’az, bahwasanya Nabi Muhammad saw. ketika mengutusnya ke Yaman, ia bersabda, "Bagaimana engkau akan memutuskan suatu perkara yang dibawa orang kepadamu?" Muaz berkata, "Saya akan memutuskan menurut Kitabullah (al-Qur’ān)." Lalu Nabi berkata, "Dan jika di dalam Kitabullah engkau tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?" Muaz menjawab, "Jika begitu saya akan memutuskan menurut Sunnah Rasulullah saw." Kemudian, Nabi bertanya lagi, “Dan jika engkau tidak menemukan sesuatu hal itu di dalam sunnah?” Muaz menjawab, “Saya akan mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (ijtihādu bi ra’yi) tanpa bimbang sedikitpun.” Kemudian, Nabi bersabda, “Maha suci Allah Swt. yang memberikan bimbingan kepada utusan Rasul-Nya dengan suatu sikap yang disetujui Rasul-Nya.” (H.R. Darami)

Kemudian Rsulullah SAW, juga mengatakan bahwa apabila seseorang berijtihad sesuai dengan kemampuan dan keilmuannya, dan ternyata ijtihadnya itu benar maka dia akan mendapatkan dua pahala, jika kemudian ternyata ijtihadnya salah maka dia mendapatkan satu pahala.

Berikut adalah hadits Rasulullah SAW yang menyatakan hal tersebut:


إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ، فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ، فَلَهُ أَجْرٌ

Artinya:
"Apabila seorang hakim menghukumi suatu masalah lalu dia berijtihad kemudian dia benar, maka dia mendapat dua pahala. Apabilia dia menghukumi suatu masalah lalu berijtihad dan dia salah, maka dia mendapatkan satu pahala.”(HR. Muslim : 1716 dari Amer bin Al-Ash).


JENIS - JENIS ATAU BENTUK IJTIHAD

Ijtihad merupakan sebuah metode dalam menghasilkan sebuah ketetapan hukum, terbagi menjadi beberapa macam, yaitu:

a. Ijma’

Ijma' merupakan kesepakatan para ulama ahli ijtihad dalam memutuskan sebuah perkara atau hukum. Contoh ijma’ antara lain terjadi pada masa sahabat Ustman Bin Affan yakni  tentang kesepakatan untuk menghimpun wahyu Ilahi yang berbentuk lembaran-lembaran terpisah menjadi sebuah mushaf Al-Qur’an yang ada seperti sekarang.

b. Qiyas

Qiyas adalah mempersamakan atau menganalogikan sebuah masalah baru yang muncul dan tidak terdapat hukumnya baik dalam Al-Qur’an ataupun Hadits dengan sebuah perkara yang sudah ada hukumnya dalam Al-Qur’an dan Hadits karena kesamaan sifat atau karakternya.

Contoh dari qiyas misalnya mengharamkan hukum minuman keras selain khamr dan narkoba karena memiliki kesamaan sifat dan karakter dengan khamr, yaitu memiliki efek memabukkan.

c. Maslahah Mursalah

Maslahah Mursalah adalah penetapan hukum yang menitikberatkan pada kemanfaatan suatu perbuatan dan tujuan hakiki yang universal terhadap syari’at Islam. Contohnya adalah ketika seseorang wajib mengganti atau membayar ganti rugi atas kerugian yang terjadi kepada pemilik barang karena kerusakan di luar kesepakatan yang telah ditetapkan sebelumnya.

PEMBAGIAN HUKUM ISLAM

Para ulama telah bersepakat untuk membagi hukum Islam menjadi dua macam, yaitu hukum Taklifi dan hukum Wad'i.

Hukum Taklifi adalah hukum dari Allah Subhanahu Wata'ala yang berhubungan dengan perintah dan larangan.

Hukum Wad'i adalah perintah dari Allah Subhananhu Wata'ala yang merupakan sebab, syarat, atau penghalang bagi adanya sesuatu.

Hukum Taklifi dibagi menjadi lima bagian, antara lain:

1. Wajib (Fardlu)

Hukum wajib adalah aturan yang berasal dari Allah SWT yang harus dikerjakan dengan sebuah ketentuan, jika dikerjakan maka akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan maka akan berdosa.

Pahala adalah sesuatu yang akan membawa seseorang masuk kedalam syurganya Allah SWT, sedangkan dosa adalah sesuatu yang akan membawa seseorang kedalam neraka.

Contoh hukum wajib adalah perintah shalat lima waktu, perintah puasa, perintah zakat dan perintah ibadah haji.

2. Sunah (Mandub)

Hukum sunah adalah aturan untuk mengerjakan sebuah perbuatan dengan ketentuan, jika di kerjakan akan mendapatkan pahala dari Allah SWT dan apabila di tinggalkan tidak akan berdosa.

Contoh hukum sunah antara lain shalat rawatib, puasa senin kamis, shalat dhuha dan sebagainya.

3. Haram (Tahrim)

Hukum haram adalah larangan untuk mengerjakan sebuah perbuatan dari Allah SWT, dengan ketentuan, jika larangan tersebut di kerjakan (di patuhi) maka akan mendapatkan pahala dari Allah SWT dan apabila larangan tersebut tetap dikerjakan (dilanggar) maka akan mendapatkan dosa.

Contoh hukum haram antara lain minum - minuman keras yang memabukkan, berzina, berjudi, mencuri dan sebagainya.

4. Makruh (Karahah)

Hukum makruh adalah aturan untuk meninggalkan sesuatu hal atau perbuatan. Makruh mengandung pengertian sesuatu yang di benci atau tidak disukai. Konsekuensi dari hukum makruh adalah jika di tinggalkan akan mendapatkan pahala dan jika di kerjakan juga tidak berdosa.

Contoh hukum makruh antara lain makanan yang beraroma tidak  sedap baik karena sifatnya atau karena bahannya.

5. Mubah (al-Ibahah)

Hukum mubah adalah sesuatu hal atau perbuatan yang boleh untuk dikerjakan dan boleh juga di tinggalkan. Tidaklah memperoleh pahala jika mengerjakannya dan tidaklah berdosa jika meninggalkannya.

Contoh hukum makruh antara lain makan roti, minum susu, tidur di kasur, dan sebagainya.

Itulah uraian artikel tentang Memahami Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Islam. Semoga bermanfaat dan semakin menambah ketaqwaan kita kepada Allah Subhanahu Wata'ala.

Posting Komentar untuk "Memahami Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Islam"