Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengapa Anak Laki - Laki Mendapatkan Hak Warisan Lebih Banyak Dari Anak Perempuan ?


Mengapa Anak Laki - Laki Mendapatkan Hak Warisan Lebih Banyak Dari Anak Perempuan ?

Dalam ajaran agama Islam, tanggung jawab seorang laki - laki memiliki perbedaan yang sangat mendasar jika di bandingkan dengan seorang perempuan. Seorang laki - laki mempunyai tanggung jawab untuk mencari nafkah yang di gunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya termasuk kebutuhan anak dan istrinya. 

Allah SWT telah berfirman dalam surah An-Nisaa ayat ke 34, yaitu :

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

Artinya :
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar." (QS. An-Nisaa : 34)

Dari ayat tersebut sangat jelas sekali bahwa Allah SWT telah menjelaskan dengan sangat gamblang mengenai kedudukan laki - ,laki dan perempuan dalam agama Islam. Dan yang perlu di garis bawahi adalah bahwa apa yang di katakan oleh Allah SWT dalam Al-Qur'an adalah sudah pasti kebenarannya karena Allah SWT tidak mungkin salah. Jika manusia merasa bahwa Allah SWT telah keliru menurunkan ayat tersebut maka sesungguhnya kita sebagai manusialah yang keliru karena keterbatasan ilmu pengetahuan yang kita miliki.

Dewasa ini ada beberapa kelompok yang menggugat tafsir dari ayat tersebut. Mereka beralasan bahwa dalam kenyataanya ayat tersebut tidak relevan dengan keadaan dan perkembangan zaman sepeti sekarang di mana kaum perempuan memiliki kedudukan yang sama dengan kaum laki - laki. Hal ini tentu saja menjadi sebuah hal yang sangat lucu, bagaimana seorang manusia kemudian menggugat firman Allah SWT yang sudah pasti kebenarannya ?

Salah seorang pegiat gender yang menggugat ayat tersebut adalah Amina wadud dan kawan-kawannya. Menurut mereka faktanya, tidak semua laki - laki mampu memberikan nafkah yang layak pada wanita (istrinya). Bahkan dalam beberapa kasus yang terjadi, seorang  wanita telah bekerja dan akhirnya lebih mampu untuk menyelesaikan urusan ekonomi keluarga di bandingkan dengan laki - laki  (suaminya). Menurut penilaian mereka penafsiran ayat di atas oleh para ulama' salaf sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini, tidak sesuai dengan kondisi wanita modern sekarang. Maka perlu kiranya dilakukan penafsiran ulang tentang ayat tersebut.

Banyak cara yang kemudian mereka coba lakukan, salah satunya adalah dengan cara mereka melakukan reinterpretasi dengan pendekatan kebahasaan. Menurut mereka kata al-Rijal yang artinya para laki-laki adalah merupakan bentuk plural dari kata Rojulun yang artinya laki-laki. Sementara kata Rojulun memiliki bentuk dan akar kata yang sama dengan kata Rijlun yang artinya kaki. 

Menurut mereka adanya kesamaan huruf dan akar kata tersebut telah menunjukan adanya korelasi makna. Makna yang diharapkan dari kata rojulun yang seakar dengan rijlun adalah personifikasi manusia yang memiliki kaki yang kuat dan personifikasi dari manusia yang mudah melangkah. Maksudnya adalah, kata rojulun bermakna kemampuan laki - laki untuk dijadikan sandaran tanggung jawab sebagai kepala keluarga dan kemampuan untuk berani dan mau melangkahkan kaki memnuhi kebutuhan keluarganya. Maka menurut mereka, siapapun yang memiliki kemampuan tersebut, itulah pemimpin dari keluarga tersebut terlepas dari jenis kelamin laki - laki atau perempuan.

Menurut saya ini adalah sebuah pendapat yang sangat keliru dan menyesatkan karena sangat bertentangan dengan ayat di atas. Bagaimana seorang manusia membuat sebuah interpretasi seakan - akan bahwa ayat tersebut salah dan tidak relevan ? Itu adalah sesuatu yang sudah kebablasan dalam agama Islam.

Bertolak dari firman Allah SWT dalam surah An-Nisaa ayat 34 di atas pula, maka dalam konteks pembagian harta warisan, hak perolehan seorang laki - laki dan perempuan di bedakan oleh Allah SWT. Sesuai dengan hukum warisan yang sudah di tetapkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur'an bahwa hak seoarang perempuan adalah setengah dari hak seorang laki - laki. 

Perlu di ketahui bahwa Allah SWT telah membuat sebuah keistimewaan tersendiri mengenai hukum warisan ini dalam Al-Qur;an. Tidak ada firman Allah SWT yang membahas mengenai sebuah hukum dengan sangat rinci dan detail dalam Al-Qur;an kecuali mengenai hukum tentang harta warisan ini. Jadi Allah SWT memberikan sebuah perhatian yang sangat lebih mengenai hal tersebut.

Banyak penulis dari dunia Barat yang mengatakan bahwa agama Islam tidak berlaku adil dalam membagi warisan untuk kaum perempuan. Mereka beranggapan  bahwa seorang perempuan juga seharusnya memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Alasan mereka adalah karena seoarang  perempuan di zaman sekarang pun perlu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.

Dalam agama Islam, kebutuhan anak perempuan sebelum menikah ditanggung oleh walinya dalam hal ini adalah orang tuanya. Akan tetapi, ketika dia menikah, maka tanggung jawabnya kemudian beralih kepada suaminya. Seoarang perempuan dalam agama Islam telah dijamin nafkahnya, baik sebelum ataupun sesudah menikah. Jika istrinya kebetulan adalah seorang yang  kaya raya,maka  tidak ada kewajiban untuk menafkahi suaminya, walau pun suaminya adalah orang yang miskin. Dengan kata lain dalam agama Islam, harta seorang suami adalah milik istrinya sementara harta milik istrinya adalah miliknya sendiri dan bukan milik suaminya.

Dalam kenyataannya, tanggung jawab seorang laki-laki lebih banyak dibading perempuan. Misalnya, ketika dia akan menikah, dia harus menyiapkan rumah dengan segala isinya, termasuk juga menafkahi istinya setelah menikah nanti. Jadi, dalam hal ini bukan Allah SWT yang berlaku tidak adil kepada perempuan, namun firman Allah SWT tersebut terkandung hikmah yang luar biasa yang harus di pahami oleh manusia dan bukan dengan membuat sebuah penafsiran yang seolah - olah benar namun ternyata keliru.

Konteks pengertian keadilan dalam agama Islam bukanlah kesamaan, seperti misalnya jika si A mendapat 10 maka si B juga harus mendapat sepuluh. Adil menurut manusia adalah sesuatu yang nisbi. sebagai contoh yang sangat mudah,. sesuatu yang dikatakan adil oleh  presiden Soekarno bisa saja menjadi sangat tidak adil di mata seorang presiden Soeharto. Jadi adil versi manusia akan selalu dinamis dan berbeda tergantung siapa yang mengatakan dan apakah ia memperoleh keuntungan dari hal tersebut. Sementara Islam mengatakan bahwa adil adalah menempatkan sesuatu sesuai dengan tempat dan kedudukannya.

Syariah Islam Bukan  Filosofi Buatan Manusia

Agama Islam adalah agama terakhir yang merupakan penyempurna dari agama - agama yang pernah di turunkan oleh Allah SWT kepada manusia sebelumnya. Hukum dalam agama Islam bukan terlahir karena pemikiran dan filosofi manusia. Akan tetapi syariat Islam lahir dari ketentuan dan firman Allah SWT yang sudah pasti kebenarannya.

Agama Islam bukanlah sesuatu yang di dasarkan dari nalar dan pikiran manusia. Jika hal tersebut yang menjadi dasar pemikiran maka agama Islam tidaklah berbeda dengan agama - agama langit sebelumnya di mana agama - agama tersebut kemudian punah akibat kalah dengan filosofi buatan manusia yang seolah - olah lebih logis dari apa yang telah di firmankan oleh Tuhan. Agama Islam adalah pembeda, maka agama Islam tidak akan kalah dengan filosofi apapun yang merupakan hasil penalaran dan filosofi manusia yang pengetahuannya sangat terbatas.

Allah SWT telah berfirman dalam surah Ali-Imran ayat ke 78, yaitu :

وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيقًا يَلْوُونَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتَابِ لِتَحْسَبُوهُ مِنَ الْكِتَابِ وَمَا هُوَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَقُولُونَ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَيَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Artinya :
Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al-Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al-Kitab, padahal ia bukan dari Al-Kitab dan mereka mengatakan, "Ia dari sisi Allah", padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui.(QS. Ali-Imran : 78)

Dalam sejarah, para ulama tidak akan pernah mau mengotak-atik syariah Islam, selama ada nash baik Quran maupun Sunnah yang secara tegas dan jelas telah menetapkan sesuatu. Sebuah logika dan nalar hanyalah dipakai bila memang ternyata terjadi ketiadaan nash-nash itu. Itu pun sebagian ulama masih lebih rela menggunakan hadits yang dhaif dari pada semata-mata hasil logika dan penalaran manusia.

Memang ada peranan dari akal dalam hal ini , namun bukan berarti semua diserahkan kepada akal. Akal hanyalah  bersifat sebagai sebuah media saja, tetapi yang memegang peranan tetaplah nash samawi. Jadi selama masih ada nash tentang sesuatu, maka tidak  seorangpun ulama yang berani melawan nash tersebut, karena hal tersebut sama saja dengan menentang Allah SWT dan hukum-Nya. Dan hal inilah yang menjadi pembeda antara agama Islam dengan agama yang lain.

Allah SWT telah berfirman :

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

Artinya :
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan Al-Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS. At-Taubah : 31)

Hukum Waris Diatur Langsung Oleh Allah SWT

Semua hukum mengenai harta warisan ini telah di atur dalam Al-Qur'an dengan sangat detail melebihi hukum apapun yang telah Allah SWT firmankan. Penjelasannya sangat mudah di pahami sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang berbeda - beda di kalangan ulama Islam.

Selama 14 abad  yang lalu, tidak ada satu pun ulama yang berani mengubah aturan tersebut, karena bahkan Nabi Salallahu 'alaihi Wassalam saja tidak berani mengutak - atinya jika itu adlah wahtu dari Allah SWT.

Jika semua firman Allah harus menyesuaikan dengan perubahan zaman, maka apakah sekarang ini kita perlu menyesuaikan waktu shalat lima waktu juga ? Karena ternyata jam kerja kita  di zaman sekarang yang terlalu padat, sehingga shalat Ashar, Maghrib dan Isya' digeser saja menjadi menjelang tidur? Sementara itu shalat Shubuh dan Dzhuhur disatukan di pagi hari dan lebih siang sedikit dengan alasan  kalau terlalu pagi kita belum bangun? 

Dalam konteks hukum warisan ini Allah SWT telah berfirman :

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Artinya :
"Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
(QS. An-Nisa': 11)

Rasulullah SAW secara khusus telah menyuruh kita untuk mempelajari hukum waris versi langit ini secara khusus. Ternyata, di balik perintah  tersebut, memang ada orang-orang yang ingin merobohkan agama Islam, dan semua itu akan dimulai dari merobohkan tentang  ilmu waris dan hukumnya.

Berikut ini adalah Sabda Rasulullah SAW :
"Pelajarilah faraidh dan ajarkanlah, sebab ia adalah separuh ilmu dan ia akan dilupakan. Dan ia adalah sesuatu yang pertama kali tercabut dari umatk". (HR Ibnu Majah dan Daruquthni. Suyuthi memberi tanda shahih)

Agama Islam Menjawab Tuduhan Tentang Ketidak-adilan Hukum Waris

Untuk menjawab pertanyaan bahwa ilmu waris ini tidak adil, karena anak perempuan hanya diberikan hak warisan sebesar  setengah dari bagian anak laki-laki, maka kita bisa menjawabnya setidaknya dengan dua argumentasi dan alasan berikut ini :

1. Alasan Pertama

Pembagian harta seseorang yang meninggal (Pewaris) di dalam agama Islam bukanlah semata-mata menggunakan hukum waris saja, namun juga ada hukum hibah, wasiat dan yang lainnya.

Dalam sebuah  kasus misalnya ketika seorang Ayah mempunyai dua anak, satu orang laki-laki dan satu lagi perempuan. Kalau hanya menggunakan hukum waris semata, maka  anaknya yang perempuan itu hanya akan menerima setengah dari apa yang akan diterima oleh saudara laki-lakinya.

Namun  karena ada  hukum hibah, maka sang Ayah boleh saja sudah memberikan terlebih dahulu sebagian hartanya kepada puteri tercintanya dengan cara menghibahkannya. Dan hal tersebut adalah hal yang  sah-sah saja untuk dilakukan. Namanya saja hibah, terserah kepada siapa dia  akan memberikannya. 

2. Alasan Kedua

Seorang perempuan dalam hukum waris tidak selamanya mendapatkan setengah dari perolehan seorang laki-laki. Namun secara umum, seringkali kali terjadi malah seorang wanita mendapat warisan lebih banyak dari apa yang didapat oleh seorang laki-laki. 

Seperti dalam surah An- Nisaa ayat ke 11 di atas, Allah SWT tidak menyebutkan bagian perempuan, tetapi bagian untuk anak perempuan. Jadi perempuan mendapat setengah dari laki-laki dikhususkan pada kondisi anak-anak saja, bukan pada seluruh ahli waris.

Bahkan bagian atau hak seorang perempuan dalam banyak kasus justru mendapatkan lebih banyak dari bagian seorang  laki-laki. Seorang ibu terkadang bisa mendapatkan  1/3 bagian dari warisan anaknya, sementara seorang ayah tetap akan mendapatkan  1/6 bagian saja.

Jadi tuduhan - tuduhan yang mengatakan bahwa agama Islam tidak adil kepada perempuan tentang hak warisan  sebenarnya agak salah alamat. Yang benar adalah bahwa perempuan mewarisi sama dengan laki-laki, bahkan seringkali dalam sebuah konsdisi malah mendapatkan lebih banyak dari seorang laki-laki.

Sebagai kesimpulan maka bisa kita katakan bahwa ketentuan Allah mengenai hukum warisan ini mengandung hikmah yang harus kita pelajari dengan baik agar kita bisa memahaminya.

Demikianlah artikel tentang Mengapa Anak Laki - Laki Mendapatkan Hak Warisan Lebih Banyak Dari Anak Perempuan ? Semoga bermanfaat dan bisa menambah wawasan ilmu pengetahuan kita.

referensi : islampos.com, rumahfiqih.com

Posting Komentar untuk "Mengapa Anak Laki - Laki Mendapatkan Hak Warisan Lebih Banyak Dari Anak Perempuan ?"