Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengenal Buku Sihir Paling Terkenal Shams Al-Ma’arif

Mengenal Buku Sihir Paling Terkenal Shams Al-Ma’arif

Dunia metafisika dan supranatural memiliki daya tarik yang kuat bagi banyak orang karena mereka menawarkan kemungkinan adanya dimensi lain yang melampaui pemahaman kita tentang dunia fisik yang terbatas.

Ternyata kajian metafisika dan supranatural juga pernah ditelusuri dalam Khazanah kitab klasik oleh cendekiawan Muslim terdahulu. Salah satu kitab yang terkenal dan kontroversial hingga saat ini adalah karya Ahmad bin Ali Al Buni.

Bagi para pendukungnya, kitab tersebut adalah panduan spiritual yang membantu pembacanya berupaya lebih dekat dengan Allah. Namun, bagi para penentangnya, kitab itu dianggap sebagai ringkasan mantra gelap yang memikat pembacanya hanyut ke dalam dunia sihir.

Kitab yang paling dilarang beredar di Timur Tengah adalah yang akan kita bahas di sini. Kitab ini dianggap kontroversial dan dianggap mengajarkan sihir. Mengapa demikian? Mari kita simak penjelasannya dalam ulasan artikel berikut ini.

Mistisisme semesta dalam Islam melibatkan pemahaman dan kajian tentang dimensi metafisika dan supranatural yang terdapat dalam Al-Quran, hadis, dan tradisi keagamaan Islam. Konsep yang relevan dalam kajian ini dikenal dengan istilah "al-ghaib". Al-Ghaib merujuk pada realitas atau dimensi yang tidak dapat diamati atau dipahami dengan indra manusia atau metode ilmiah konvensional. Ini meliputi keberadaan Allah yang tidak dapat dilihat secara langsung oleh manusia, penghakiman akhirat, malaikat, jin, dan hal-hal yang berhubungan dengan alam gaib.

Beberapa ulama memilih untuk mengkaji spiritualitas yang bersifat esoteris melalui pendekatan mistisme. Mistisme dari Khazanah Islam ini seringkali dipadankan dengan ilmu tasawuf, dan mereka yang mendalami tasawuf disebut sebagai Sufi.

Pada abad ke-13, lahir seorang tokoh Sufi bernama Ahmad bin Ali al-Buni. Ia berasal dari Aljazair dan dikenal sebagai ahli matematika, filsuf, dan juga Sufi terkenal. Cendekiawan Sufi tersebut kemudian menulis sebuah kitab yang menjadi kontroversi di Timur Tengah selama berabad-abad. Kitab tersebut diberi nama "Shams al-Ma'arif". Kitab karya al-Buni ini berisi risalah tentang sifat-sifat dan penggunaan masing-masing dari 99 nama Allah. Setiap nama yang dipelajari memiliki kekuatan tertentu yang terkait dengannya.

Menurut Al-Buni, jika seseorang membaca Al-Alim yang memiliki arti "Yang Maha Mengetahui" secara berulang-ulang, maka dia akan mendapatkan pengetahuan Ilahi. Sementara itu, ketika membaca Al-Qawi atau "Yang Maha Kuat," seseorang akan mendapatkan perlindungan Ilahi. Al-Buni mengklaim bahwa penyebutan nama-nama Ilahi ini memungkinkan terjadinya peristiwa-peristiwa ajaib dalam sejarah Al-Quran, seperti mukjizat Nabi Isa menghidupkan orang mati dan Nabi Musa berbicara langsung dengan Tuhan.

Namun, klaim tersebut masih sesuai dengan keyakinan Sufi yang harus utama. Kontroversi muncul saat Al-Buni memperkenalkan panduan tentang cara membuat jimat menggunakan nama-nama Tuhan yang disebut "raja-raja". Raja-raja adalah sekumpulan huruf atau kalimat yang membentuk suatu gambar tertentu yang dipercaya dapat menjadi jimat. 

Dalam kitab tersebut, terdapat raja-raja atau jimat untuk berbagai kebutuhan khusus, seperti bercocok tanam, menambah kekayaan, bahkan menemukan cinta sejati. Inilah yang membuat Al-Buni dituduh mempromosikan sihir.

Al-Buni juga mengajarkan cara memanggil malaikat dan jin yang baik untuk memenuhi permintaan seseorang, dengan peringatan bahwa seseorang mungkin secara tidak sengaja memanggil jin yang jahat. Memanggil jin dikatakan dipraktikkan oleh para guru Sufi karena keadaan spiritual mereka yang tinggi memungkinkan mereka berfungsi sebagai perantara antara dunia spiritual dan dunia materi.

Selain itu, Al-Buni berpendapat bahwa 28 huruf Arab dalam Al-Quran semuanya memiliki nilai numerik. Ini merupakan argumen yang dia buat dengan merujuk pada kombinasi huruf-huruf misterius dalam ayat-ayat Al-Quran yang berdiri sendiri dan tidak membentuk kalimat, seperti Alif Lam Mim, Alif Lam Ra, dan sebagainya. Makna misterius dari huruf-huruf yang berdiri sendiri ini dipandang memiliki sifat yang dapat memberi kekuatan kepada seseorang.

Salah satu misteri yang ingin dijawab oleh Al-Buni dalam kitabnya adalah keterkaitan antara alam semesta, tata surya, dan perbintangan dengan rahasia-rahasia tersembunyi di balik angka dan huruf. Dengan menggunakan huruf dan angka, Al-Buni membuat bagan yang rumit yang kemudian digambarkan sebagai "Kota Ajaib" yang ditulis sesuai dengan susunan planet. Al-Buni mengatakan bahwa apa yang terjadi di luar angkasa, termasuk pergerakan planet, bintang, matahari, dan bulan, memiliki keterkaitan dengan apa yang terjadi di daratan bumi.

Menurut Al-Buni, aktivitas sihir sangat erat kaitannya dengan bintang-bintang di langit, dan sebagian jin atau setan menyembah benda-benda langit tersebut sebagai perantara dalam menyembah Allah.

Pada abad ke-14, beragam cendekiawan ulama seperti Ibnu Khaldun dan Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa Al-Buni dan orang-orang sezamannya, seperti Ibnu Arabi, melakukan tindakan bid'ah dan bahkan melakukan sihir yang sangat dilarang dalam Islam.

Untuk Kalangan Terbatas 

Dalam pendahuluan kitabnya, Al-Buni menekankan bahwa kitab tersebut hanya boleh dibaca oleh para ahli syariat yang suci dan tidak memiliki kepentingan duniawi. Ia tidak rela jika kitab ini jatuh ke tangan yang salah dan digunakan untuk tujuan keliru. 

Haram bagi orang yang mengamalkan kitab ini untuk mengajarkannya kepada orang yang tidak layak atau mengamalkannya pada hal yang bukan tempatnya. Karena itu, Allah akan menutup dan mencegah faedah-faedah dan keberkahannya, tegas Al-Buni.

Mengingat sifat rahasia dari pengetahuan yang mereka yakini, kemungkinan kitab Syams al-Ma'arif tidak pernah dimaksudkan untuk dibaca oleh orang awam. Sebaliknya, buku ini hanya ditujukan untuk mereka yang berminat memasuki tarekat Sufi dan disebarluaskan di antara komunitas yang tertutup.

Setelah kematian Al-Buni pada tahun 1225, kitab karya beliau justru tersebar luas ke berbagai negara dengan beragam versi. Para penulis anonim yang mengaku sebagai pengikutnya menambahkan isi dari kitab aslinya, sehingga lahir versi yang lebih baru yang dikenal dengan judul "Shams al-Ma'arif al-Kubra," yang dapat diterjemahkan sebagai "kitab Shams al-Ma'arif yang diperluas." 

Versi ini baru muncul pada abad ke-17 dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Urdu, Turki, Indonesia, dan Spanyol. Oleh karena itu, tidak heran banyak kalangan yang meragukan keaslian kitab tersebut.

Kontroversi mengenai kitab ini telah mendorong ulama di berbagai belahan dunia untuk mereduksi beberapa bagian yang dinilai tidak layak. Ketika diterbitkan dalam edisi cetak pertamanya di Beirut pada tahun 1985, bagian-bagian kitab sudah tidak lagi utuh seperti semula. Terdapat penghilangan di sana-sini, terutama pada bagian yang dianggap berbahaya dan rentan memicu kesesatan.

Pemerintah Arab Saudi pun tidak segan melarang peredaran dan pengkajian kitab ini. Larangan tersebut merujuk pada fatwa Syekh Abdullah bin Bass bahwa karya-karya sejenis ini bisa mendatangkan ke kuburan. 

Namun, upaya pencegahan terhadap kitab ini nyata-nyata telah menyurutkan kajian dan penelitian mendalam terhadap kitab ini. Di Indonesia, kitab Syams al-Ma'arif Kubra telah menjadi salah satu kitab kuning yang biasa dipelajari di beberapa pesantren sejak lama.

Kontroversi dan polemik seputar kitab ini sempat menjadi perbincangan di kalangan publik ketika Gus Syamsudin menyatakan bahwa kitab Shams al-Ma'arif dan kitab Mambaul Hikmah, keduanya ditulis oleh Al-Buni, merupakan rujukannya dalam mempraktekkan pengobatan dan ilmu gaib. Merespon pernyataan tersebut, Gus Syamsudin, seorang ahli ruqyah, menjelaskan bahwa kitab-kitab seperti itu merupakan kitab sihir dan perdukunan. 

Di Timur Tengah, hal ini sudah diketahui bahwa kitab tersebut berisi khurafat dan bukan kitab yang mengajarkan ajaran Islam yang murni. Dari peristiwa yang viral itu, kita dapat mengetahui bahwa tradisi mempelajari kitab-karangan Al-Buni ini telah mengakar di sebagian kalangan.

Di Pesantren Tebuireng, mereka yang mempelajari kitab karya Al-Buni berpendapat bahwa hukum mempelajari kitab seperti ini tidak mutlak haram jika para pengamalnya adalah sosok yang baik dan taat terhadap syariat. Ilmu yang diperoleh bukanlah ilmu sihir, melainkan ilmu hikmah yang didapat dari pertolongan Allah, dan tentunya akan membawa manfaat kepada banyak orang. 

Oleh karena itu, tidak semua santri diperbolehkan untuk mengikuti kajian kitab ini, hanya santri yang dianggap sudah layak yang dapat mengikuti pengajian tersebut, tentunya dengan berbagai klasifikasinya.

Kesimpulan

Pandangan terhadap dunia metafisika dan supranatural bervariasi di antara budaya, agama, dan individu. Beberapa orang mengadopsi keyakinan dan praktik metafisika atau supranatural sebagai bagian dari kehidupan spiritual mereka, sementara yang lain mungkin bersikap skeptis atau menganggapnya sebagai domain yang tidak dapat diuji secara ilmiah, bahkan bertentangan dengan dogma agama itu sendiri.

Sumber referensi: Embara Lensa Channel

Posting Komentar untuk " Mengenal Buku Sihir Paling Terkenal Shams Al-Ma’arif"