Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Abu Nawas: Siapakah yang Menciptakan Tuhan?

Kisah Abu Nawas: Siapakah yang Menciptakan Tuhan?

Eksistensi Tuhan telah menjadi subjek yang signifikan dalam sejarah manusia, mempengaruhi kebudayaan agama dan pemikiran filosofis. Perdebatan mengenai agama dan ketuhanan seolah tak ada habisnya. 

Pada masa kuno, banyak kebudayaan memiliki keyakinan politeistik, yaitu kepercayaan pada banyak dewa sebagai antitesa dari politeisme muncul kepercayaan monoteisme. Ajaran monoteistik muncul di sejumlah agama Samawi seperti Yahudi, Kristen, dan Islam.

Keyakinan Satu Tuhan yang Tunggal dan Maha Kuasa

Seiring perkembangan filsafat modern, muncul pemikiran agnostik dan ateis. Ateis tidak percaya akan keberadaan Tuhan, sementara agnostik menganggap bahwa manusia tidak dapat memastikan secara ilmiah apakah Tuhan ada atau tidak.

Sains seringkali dijadikan tameng untuk meragukan eksistensi Tuhan beserta institusi agamanya. Apakah sains dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai Ketuhanan? Apakah ateisme semakin berkembang atau justru ditinggalkan, dan bagaimana Islam menyikapi kemampuan manusia dalam berpikir secara kritis?

Logika Abu Nawas

Kisah unik yang menggambarkan dialektika antara penganut agama dan ateisme muncul dari cerita Abu Nawas. Abu Nawas hidup di masa Sultan Harun Al Rasyid dan lebih dikenal sebagai seorang penyair. Selain itu, Abu Nawas juga terkenal sebagai sosok jenaka dan konyol, namun di balik kekonyolannya, ia adalah sosok yang cerdas dan religius.

Dikisahkan suatu ketika, Kota Baghdad kedatangan seorang orang asing yang membuat gaduh warga kota. Orang asing tersebut mengaku tidak percaya akan adanya Tuhan dan menantang siapapun untuk berdebat mengenai keberadaan Tuhan.

Salah satu pertanyaan orang asing itu adalah, jika Muslim yakin bahwa dunia dan isinya adalah ciptaan Allah, lalu siapa yang menciptakan Allah? Abu Nawas, yang dihadirkan untuk menjawab pertanyaan orang asing itu, kemudian berkata, "Anda pasti tahu, Muslim mengakui hanya ada satu Tuhan kita, istilahnya 'Tuhan' dengan angka satu. Sekarang, aku yang ingin bertanya, angka tiga berasal dari angka berapa?" tanya Abu Nawas.

"Angka tiga berasal dari angka dua ditambah satu," jawab orang asing tersebut. "Tepat sekali. Kalau angka dua berasal dari angka berapa?" tanya Abu Nawas lagi.

"Angka dua berasal dari angka satu ditambah satu," jawab orang asing tersebut. "Benar sekali, sekarang, kalau angka satu sendiri berasal dari angka berapa?" Orang asing tersebut kaget dengan pertanyaan itu dan hanya terdiam, tidak bisa menjawabnya.

Kemudian Abu Nawas berkata, "Semua angka pasti ada awalnya, entah itu angka lima, angka empat, ataupun angka sepuluh. Dan angka-angka tersebut diibaratkan sebagai alam semesta, ciptaan Allah."

 Apabila kamu bertanya, 'Siapa yang menciptakan Allah?' Sama halnya saya bertanya, 'Dari mana angka satu itu ada? Kamu pasti tidak akan bisa menjawabnya. Orang asing tersebut langsung terdiam dan merenungi kata-kata Abu Nawas. Ia puas dengan jawaban yang masuk akal dari Abu Nawas.

Dalam tanya jawab tersebut, Abu Nawas memilih untuk menggunakan logika guna memberikan pencerahan kepada orang ateis tersebut.

Doktrin teologis tentu saja tidak diterima oleh mereka yang tidak mempercayai Tuhan. Mereka menggunakan logika dan akal untuk mematahkan argumentasi penganut ateisme, ibarat melumpuhkan musuh dengan menggunakan pisau mereka sendiri. Dalam Khazanah Islam, terdapat ilmu yang mempelajari hakikat ketuhanan, ilmu tersebut dikenal sebagai ilmu kalam.

Menurut Ibnu Khaldun dalam buku mukadimah, ilmu kalam adalah ilmu yang mengandung argumentasi rasional untuk membela aqidah atau iman, serta sebagai konter terhadap ajaran yang menyimpang. Mereka yang ahli dalam ilmu kalam disebut mutakallimin. 

Beberapa variasi argumen mengenai eksistensi Tuhan telah digunakan oleh para mutakallimin. Salah satu contohnya adalah argumen alam semesta atau cosmological argument, argumen dari penciptaan atau argumen from design, dan argumen moral atau moral argumen. Kesemuanya merupakan argumen berbasis silogisme yang dibuat melalui hukum logika, berdasarkan kesimpulan-kesimpulan dari penalaran rasional atau empiris.

Berikut ini adalah beberapa contoh Penerapannya:

Argumen alam semesta:

Premis pertama: Segala sesuatu yang ada mempunyai sebab.

Premis kedua: Alam ada.

Kesimpulan: Alam mempunyai sebab.

Argumen penciptaan:

Premis pertama: Segala sesuatu yang teratur dan harmoni menunjukkan adanya penciptanya.

Premis kedua: Alam ini teratur dan harmoni.

Kesimpulan: Alam ini ada penciptanya.

Keruntuhan ateisme:

Sejak gelombang berkembangnya sains sejak zaman Yunani kuno sampai dengan awal abad ke-20, para ilmuwan terutama ilmuwan Barat memperdebatkan adanya Tuhan. Mereka sangat tertarik untuk membuktikan akan adanya Tuhan melalui pertanyaan filosofis dan teologis. Pada akhirnya, jawaban tersebut ditemukan dari fisika kuantum.

Fisika kuantum merupakan ilmu yang juga sering disebut sebagai fisika modern. Fisika kuantum membahas benda-benda dengan ukuran yang sangat kecil dan tidak dapat dilihat secara kasat mata. Fisika kuantum mempelajari perilaku materi dan energi pada tingkatan molekul, atom, nuklir, serta tingkat mikroskopik. 

Dari fisika kuantum, diketahui bahwa ada kekuatan dan energi besar yang menciptakan dan menggerakkan partikel-partikel subatomik. Partikel-partikel tersebut terkoneksi dan menyusun menjadi suatu senyawa atau benda. 

Ada suatu kekuatan yang maha dahsyat sehingga unsur terkecil tak kasat mata dari benda ini bisa berperilaku dan bergerak sesuai dengan ciri masing-masing untuk membentuk senyawa atau benda yang lebih besar. 

Ada suatu kekuatan yang mengkreasi semua benda-benda itu. Walaupun tidak nampak secara wujud, energinya sangat dirasakan di alam semesta ini. Itulah Tuhan Yang Maha Dahsyat, Tuhan Yang Maha Pencipta.

Munculnya paradigma baru dalam fisika kuantum menggugurkan teori deterministik terhadap alam, yang merupakan fondasi berpikir kaum ateis. Paham determinisme alam adalah pandangan bahwa segala hal dalam alam semesta digerakkan oleh hukum sebab-akibat atau kausalitas yang dapat dilihat secara kasat mata atau materialistik. Pandangan tersebut ternyata dimentahkan oleh sains modern.

Kita sedang berada pada periode zaman di mana popularitas ateisme telah runtuh, bersamaan dengan runtuhnya komunisme seperti bubarnya Uni Soviet. Seiring perkembangan zaman di mana arus modernisme telah melanda di semua lini kehidupan, justru terjadi kekeringan spiritual. 

Muncul banyak persoalan psikologis seperti stres dan depresi akibat tekanan hidup, materialisme, dan hedonisme. Akibat dari itu, masyarakat modern kehilangan arah hidup dan mencoba mencari sandaran hidup melalui jalan-jalan spiritualisme. Itulah Tuhan Yang Maha Pencipta.

Islam sesungguhnya bisa menjawab kegelisahan masyarakat modern tersebut. Islam, yang diturunkan Allah, selain mengajarkan aspek lahir dengan rangkaian ritualnya, juga menekankan aspek batin melalui jalan spiritual untuk membentuk perilaku sehat dan harmoni.

Kesimpulan

Dalam Islam, akal dan nalar kritis dianggap sebagai karunia Allah yang diberikan kepada manusia. Akal dan nalar kritis dipandang sebagai sarana yang penting dalam mencapai pemahaman yang benar tentang kebenaran dan menjalani kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam. Namun, perlu digaris bawahi bahwa Islam tidak menginginkan umatnya menunjukkan sikap skeptisisme berlebihan atau penolakan tanpa dasar terhadap kebenaran agama.

Islam mengajarkan bahwa akal dan nalar kritis harus digunakan secara seimbang dan sesuai dengan bimbingan wahyu Allah yang terkandung dalam Alquran dan hadis. Terdapat ranah yang tidak dapat dijangkau oleh akal manusia seberapapun manusia berusaha keras mengetahuinya. 

Pada tingkat ini, hanyalah iman yang mampu menentramkan nalar manusia. Begitupun tentang pertanyaan "Siapakah yang menciptakan Tuhan?" 

Dari Abu Hurairah, ia berkata Rasulullah bersabda, "Setan datang kepada salah seorang di antara kalian lalu berkata, 'Siapa yang menciptakan begini? Siapa yang menciptakan begini?' Hingga setan itu pada akhirnya berkata, 'Allah menciptakan makhluk.' Lalu, 'Siapa yang menciptakan Allah?' Jika telah berkata demikian, maka hendaklah dia memohon perlindungan kepada Allah dan menghentikannya."

Dalam sebuah riwayat Shahih, disebutkan pula bahwa orang-orang senantiasa bertanya-tanya hingga dikatakan, "Allah menciptakan makhluk-Nya, lalu siapa yang menciptakan Allah?" Bagi yang menghadapi keadaan semacam itu, maka hendaklah mengucapkan, "Aku beriman kepada Allah dan para utusannya."

Sumber referensi: Embara Lensa Channel

Posting Komentar untuk " Kisah Abu Nawas: Siapakah yang Menciptakan Tuhan?"