Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Belajar dari Sikap Teladan Nabi Ayub, Simbol Kesabaran

Belajar dari Sikap Teladan Nabi Ayub, Simbol Kesabaran
credit:instagram@salvinsilitonga

Nabi Ayub As merupakan salah satu dari 25 orang Nabi dan Rasul yang wajib diketahui umat Islam. Di antara Nabi-Nabi itu, Nabi Ayub diriwayatkan merupakan nabi yang paling sabar tatkala mendapat ujian dari Allah SWT. 

Kalau ada yang mengatakan siapa manusia yang berada di ambang puncak kesabaran, maka Nabi Ayub lah orangnya. Kalimat terkenal ketika orang menggambarkan kesabaran Ayub adalah “seperti sabarnya Nabi Ayub”. Pendek kata, Nabi Ayub As adalah simbol kesabaran.

Nabi Ayub As hidup sekitar tahun 1540-1420 SM. Ia mendapat tugas berdakwah di kalangan Bani Israil dan Kaum Amoria (Aramin) di Haran, Syam (kini mencakup wilayah Syria dan sekitarnya). Satu riwayat menyebutkan Ayub adalah putra Nabi Ishak. 

Tapi dalam riwayat lain disebutkan ia adalah putra Aish bin Ishaq bin Ibrahim. Dalam kisah Yaqub dikisahkan bahwa Aish adalah saudara kembar Yaqub. Jika demikian, Ayub masih keponakan Nabi Yaqub dan sepupu Nabi Yusuf.

Al-Quran tidak menyampaikan kisah tentang Ayub secara mendetail, termasuk misalnya apa penyakit yang dideritanya. Namun sejumlah riwayat mencoba mengisahkan kehidupan Nabi Ayub lebih terperinci. 

Salah satu riwayat yang populer tentang Ayub adalah sebagai berikut:

Suatu waktu para malaikat berbincang mengenai umat manusia dan ibadah mereka. Salah satu malaikat berkata: “Tak satupun manusia di bumi yang lebih baik dibandingkan dengan Nabi Ayub. Beliau manusia beriman yang paling sukses, paling besar imannya, paling banyak ibadahnya kepada Allah, dan paling bersyukur atas nikmat-nikmat yang telah beliau terima.”

Iblis, yang menguping perbincangan itu, merasa terusik. Dengan hati yang panas, Iblis mendatangi Ayub dan berniat menggodanya. Namun Iblis menemui kenyataan bahwa Ayyub adalah nabi yang hatinya melimpah dengan dengan ketulusan dan cinta kepada Allah di tengah gelimang kekayaan dan kebahagiaan bersama keluarga besarnya. Iblis pun gagal menggoda Ayub.

Karena gagal membujuk secara langsung, Iblis menghadap Allah. “Wahai Tuhan,” kata Iblis, “Sebenarnya Ayub tidaklah ikhlas memuji-muji, bertasbih, dan bertahmid menyebut nama-Mu. Ia taat beribadah dengan alasan takut kehilangan seluruh kenikmatan yang Engkau karuniakan kepadanya. Kalau ia kehilangan semua kenikmatan itu, pastilah ia akan meninggalkan kewajiban ibadahnya kepada-Mu.”

Allah mengijinkan Iblis untuk menguji keteguhan iman Ayub. Iblis bersama pembantu-pembantunya kemudian dengan berbagai cara menghancurkan kekayaan Ayub. Hewan-hewan ternaknya satu demi satu mati bergelimpangan hingga habis tak tersisa. 

Ladang-ladang dan kebunnya kering tak menghasilkan apa-apa. Gedung-gedung miliknya hangus terbakar habis. Dalam sekejap, Ayub yang kaya-raya berubah menjadi manusia papa yang tak punya apa-apa.

Setelah itu, dengan sosok seorang tua bijaksana, Iblis mendatangi Ayub. “Wahai Ayub,” kata Iblis, “Aku turut bersimpati dan bersedih atas musibah dahsyat yang menimpamu. Kawan-kawanmu bertanya-tanya apakah gerangan yang menyebabkan kekayaanmu musnah dalam sekejap. Ada yang berpendapat bahwa Ayub tidak ikhlas dalam beribadah. Sebagian lain berkata bahwa, jika Allah benar-benar berkuasa, tentu Dia dapat menghindarkan Ayub dari musibah. Ada lagi yang bilang bahwa amal ibadah Ayub tidak diterima Tuhan karena tidak berasal dari hati yang bersih.”  Namun Ayub tidak terpengaruh kata-kata itu. Ia tetap tenang. Sama sekali wajahnya tidak menunjukkan kesedihan.

Katanya, “Semua kekayaan hanyalah titipan dari Allah yang suatu saat bisa diminta-Nya lagi setelah aku cukup menikmati dan memanfaatkannya. Jadi, kuucapkan syukur dan puji bagi Allah yang telah melimpahkan karunia-Nya kepadaku dan mengambilnya kembali. Aku hanyalah makhluk yang lemah yang patut berserah diri kepada-Nya dan menerima takdirnya meskipun kadangkala belum memahami hikmahnya.” Ayub kemudian bersujud memohon ampun kepada Allah.

Iblis kecewa atas kegagalannya menghasut Ayub. Ia kemudian menghadap lagi kepada Allah untuk mencoba menguji lagi Ayub. “Wahai Tuhan,” kata Iblis, “Ayub ternyata tidak goyah imannya kepada-Mu meskipun ia sudah kehilangan seluruh kekayaannya. Itu terjadi karena ia masih memiliki putra-putra yang sehat dan sejahtera.

Ayub niscaya takkan bertahan jika seluruh keluarganya juga terkena musibah. Jadi, izinkanlah aku menguji kesabaran dan keteguhan imannya melalui keluarga dan putra-putranya.”

Allah mengabulkan permintaan Iblis. Iblis pun bersama pembantu-pembantunya segera melaksanakan rencananya. Dalam sekejap anak-anak Ayub dan keluarga mereka mati tanpa sisa. Tak lama Iblis, yang menjelma seorang kawan Ayub, datang untuk turut berdukacita.

Kata Iblis, “Wahai Ayub, engkau sudah melihat putra-putramu yang mati karena gedungnya roboh akibat gempa bumi? Kiranya, selama ini Tuhan tidak menerima ibadahmu dan tidak melindungimu sebagai imbalan bagi seluruh amal salehmu.”

Ayub menangis mengetahui semua putranya meninggal. “Allahlah yang memberi dan Allah pulalah yang mengambil kembali. Segala puji bagi-Nya, Tuhan yang Maha Pemberi dan Maha Pencabut,” ucap Ayub sambil bersujud bermunajat kepada Allah.

Iblis meninggalkan Ayub dengan marah karena gagal untuk kedua kalinya menghasut Ayub. Ia kembali menghadap Tuhan. Katanya, “Wahai Tuhan, meskipun Ayub sudah kehilangan seluruh kekayaan dan keluarganya, imannya kepada-Mu tidak juga goyah. Maka izinkan aku mencobanya dengan cara mengganggu kesehatannya. Jika ia sakit parah, pastilah ia akan malas menjalankan ibadah kepada-Mu.”

Allah kembali memberikan izin. Iblis pun bersama anak-anak buahnya menaburkan bermacam kuman penyakit ke tubuh Ayub sehingga dengan cepat Ayub menderita sakit yang sangat parah. Orang-orang menjauhinya karena takut tertular penyakitnya. 

Ia menjadi terkucil. Hanya istrinya yang setia mendampingi dan merawatnya tanpa mengeluh. Dan meskipun sakit parah, Ayub terus menyebut nama Allah dan memohon ampun kepada-Nya.

Iblis seakan-akan kehabisan cara untuk menghancurkan iman Ayub kepada Allah. Setelah menerima usul dari kawan-kawannya, Iblis merencanakan untuk membujuk istri Ayub supaya meninggalkan suaminya. 

Dengan menyamar sebagai seorang kawan Ayub, Iblis mendatangi istri Ayub. “Bagaimana keadaan suamimu?” Tanya Iblis. Istri Ayub menjawab, “Dia terbaring sakit, tapi mulutnya terus-menerus berzikir menyebut nama Allah. Ia dalam keadaan parah, mati tidak hidup juga tidak.” Untuk menggoda istri Ayub, Iblis kemudian mengingatkan akan masa-masa ketika keluarga Ayub masih kaya dan sejahtera.

Sepeninggal Iblis, istri Ayub mendatangi suaminya. “Wahai suamiku,” katanya, “sampai kapan engkau menderita seperti ini? Alangkah indahnya masa-masa tatkala kita masih muda, sehat, dan bahagia. Mohonlah kepada Tuhan agar kita segera dibebaskan dari segala penderitaan ini.”

Nabi Ayub Bertanya, “Wahai istriku, berapa lama kita hidup mewah dan sejahtera?” “Delapan puluh tahun,” jawab istrinya. “Lalu, berapa lama kita hidup dalam penderitaan?” Tanya Ayub. “Tujuh tahun,” jawab istrinya. 

Lalu Ayub berkata, “Aku malu memohon kepada Allah agar membebaskan penderitaan kita yang belum sepanjang masa kemakmuran kita.” Ayub yakin istrinya sudah terhasut Iblis sehingga imannya menipis. Kata Ayub, “Sejak detik ini kuharamkan makan dan minum dari tanganmu. Tinggalkan aku sampai Allah menentukan takdir-Nya.”

Setelah ditinggalkan istrinya, Ayub berdoa, “Ya Allah, aku telah mengalami penderitaan dan siksa karena syaitan. Engkaulah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.” Allah menerima doa Ayub, lalu berfirman, “Hantamkanlah kakimu ke tanah. Dari situ akan memancar air dan dengan air itu engkau akan sembuh dari semua penyakitmu.”

Dengan izin Allah, setelah melaksanakan petunjuk-Nya, Nabi Ayub pun sembuh dari penyakitnya. Ia bahkan kelihatan lebih sehat dan lebih muda daripada sebelum menderita sakit. Setelah mencambuk istrinya dengan seratus helai rumput, sebagai pelaksanaan sumpahnya untuk mencambuk sang istri 100 kali, Ayub kembali mengecap kebahagiaan keluarga bersama istrinya.

Posting Komentar untuk " Belajar dari Sikap Teladan Nabi Ayub, Simbol Kesabaran "