Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Demokrasi dalam Pandangan Islam

Demokrasi dalam Pandangan Islam

Adakah demokrasi dalam pandangan Islam? Untuk hal ini, perlu kiranya kita menghilangkan dikotomi dunia barat sebagai kafir (atau malah lebih superior) dan Islam sebagai pihak yang taat kepada Allah SWT (atau malah lebih inferior). Terkadang, hanya karena permasalahan bahasa, sebuah konsep bisa menjadi rusak atau disalahpahami oleh masyarakat.

Misalnya, hanya karena kata demokrasi berasal dari Barat dan tidak berbahasa Arab, oleh kalangan tertentu, demokrasi adalah hal yang bertentangan dengan Islam. Belum lagi terdapat begitu banyak perbedaan konsep tentang satu kata “demokrasi”. Kita akan melihat demokrasi dari sisi asalnya, Yunani, lalu membandingkannya dengan konsep “demokrasi” dalam Islam.

Demokrasi Pra Islam

Islam adalah agama yang sangat berkaitan dengan praktik. Oleh karenanya, untuk mencari contoh dalam Islam, kita bisa melihat pada kejadian-kejadian di sekitar masa hidup Nabi Muhammad SAW. Belasan tahun menjelang kenabiannya, Muhammad menghadapi keadaan yang sangat sulit.

Pada zaman yang dikenal dengan zaman Jahiliyyah (kebodohan), suku-suku Arab sangat suka meminum arak lima kali sehari, berperang kecuali dalam empat bulan suci, meremehkan wanita, dan menyerang suku-suku yang lemah.

Beberapa orang, termasuk Muhammad pada usia 25 tahun, memutuskan untuk mendirikan kelompok bernama Akhdar (Hijau) yang bertugas untuk melindungi perempuan dan suku-suku lemah di Arab yang sering dianiaya.

Prinsip Akhdar adalah menolong orang-orang yang tertindas, mengembalikan hak-hak mereka selama tetes air terakhir masih ada di lautan. Jika anggota Akhdar tidak mampu menegakkan keadilan tersebut, mereka akan mengganti kerugian korban-korban intimidasi “para penguasa” tadi dengan harta mereka. Terobosan yang dilakukan Akhdar saat itu dapatlah menjadi cikal bakal penerapan demokrasi di tanah Arab.

Demokrasi di Madinah

Selanjutnya, ketika Islam sudah berdiri di Madinah, Nabi Muhammad SAW memperkenalkan konsep umat dalam artian yang melebihi pola pikir orang Arab pada zamannya. Kesatuan umat digunakan agar semua orang menerapkan prinsip berpasrah diri kepada Allah SWT, yang sesungguhnya disebut dengan Islam.

Sebelum kemudahan orang berpasrah diri ini terwujud, umat belum terbentuk. Oleh karena itu, terdapat ayat “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S. Al-Hujurat:10) atau dalam sebuah hadits di nyatakan “umat Islam itu bagaikan sebuah gedung. Pilar yang satu memperkokoh dan memperkuat pilar yang lain”.

Dengan konsep umat ini, nyatanya semua orang menjadi setara karena yang menjadi keunggulan hanyalah masalah keimanan; dan keimanan hanya diketahui Allah. Konsep ini membuat konsep kepemimpinan tunggal sebuah “kepala” suku, hak suku besar menghancurkan suku lemah, menjadi lenyap.

Nabi sendiri dalam memimpin lebih cenderung pada sistem anarki (tidak mengenal pusat, an = tidak, dan arche = pusat) yang benar-benar menjadi patokan demokrasi sesungguhnya.

Demokrasi di Yunani

Demokrasi sendiri secara literal dipahami sebagai rakyat berkuasa (demos dalam bahasa Yunani berarti rakyat dan kratos / kratein berarti kekuasaan / berkuasa). Pengembangan awalnya, demokrasi dikembangkan di Yunani kuno dengan diterapkan pada negara-kota (city-state).

Yang berlaku saat itu adalah demokrasi langsung; sebuah pemerintahan yang mengusung prinsip bahwa hak untuk membuat keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara. Hak tersebut diterapkan berdasarkan pada prosedur mayoritas (yang banyak berarti yang menang).

Menariknya, ketika demokrasi diterapkan, sebenarnya tidak ada demokrasi yang sebenar-benarnya demokrasi. Maksudnya, demokrasi di Yunani kuno hanya berlaku pada warga negara resmi negara-kota, yang jumlahnya sedikit (orang lokal yang memiliki kemerdekaan). 

Sementara itu, warga negara yang tidak resmi semacam budak belian dan pedagang asing, tidak bisa mengenyam “nikmatnya” demokrasi.

Mereka tidak berhak menentukan pendapat karena mereka -terutama budak- tidak memiliki hak “merdeka”. 

Artinya, ketika demokrasi yang dianggap dari rakyat, untuk rakyat, dan demi rakyat pertama kali ditegakkan di Yunani, saat itu pula demokrasi yang sesungguhnya dilecehkan karena tidak ada persamaan hak semua warga negara, meskipun tentu kita perlu memperhatikan sudut pandang sesuai zaman, bahwa saat itu budak memang tidak dianggap apa-apa sehingga “demokrasi” versi Yunani tetap saja dianggap demokrasi yang demokratis.

Demokrasi dalam Pandangan Islam

Jika demokrasi dilihat dari praktiknya di Yunani, demokrasi memang bukan milik Islam atau tidak sesuai dengan Islam. Dalam Islam, konsep umat jauh lebih luas daripada demokrasi versi Yunani. 

Misalnya, dalam Piagam Madinah yang sering dijadikan tolak ukur demokrasi dalam Islam, umat Islam yang mayoritas akam menjaga umat atau suku lain di Madinah yang membutuhkan naungan perlindungan, termasuk umat Yahudi.

Seluruh umat yang ada di Madinah berhak dan berkewajiban melindungi komunitas Madinah sehingga muncullah istilah bahwa Nabi Muhammad SAW telah menciptakan suku super di Madinah yang tidak terikat dalam ikatan semu suku, adat, keluarga, atau dalam tataran tertentu agama, karena umat Madinah tetap menjalankan agama masing-masing.

Itulah sekelumit ulasan tentang demokrasi dalam pandangan Islam, semoga dapat menambah wawasan Anda.

Posting Komentar untuk " Demokrasi dalam Pandangan Islam"